Dibalik Kerudungnya Yang Lebar (Bagian 4)

Cerita Panas Bersambung Ustazah Binal berjudul Dibalik Kerudungnya Yang Lebar (Bagian 4) ini mengisahkan tentang seorang wanita berhijab yang alim diperkosa oleh seorang pemuda yang membuatnya ketagihan. Penasaran? Yuk baca aja cerita hijab ini.
Cerita Panas Bersambung Ustazah Binal
(Cerita Panas Bersambung Ustazah Binal)
Perlu diketahui, cerita ini merupakan lanjutan dari episode yang sudah terbit sebelumnya. Silahkan baca-baca dulu chapter yang sebelumnya agar Anda tidak bingung.

Untuk membaca cerita lengkapnya, silahkan lihat daftar episode cerita "Dibalik Kerudungnya Yang Lebar" disini:

Dibalik Kerudungnya Yang Lebar The Series <-- klik untuk melihat.

***

Malam yang sama.

Ustazah Raudah menutup pintu kamar Ustazah Lia dengan tergesa. Informasi yang dia dengar dari Ustazah Lia bahwa Ustaz Karim baru saja pulang membuatnya ingin cepat-cepat menggapai hpnya. Dengan langkah-langkah cepat dia menuju ke kamarnya, masuk, kemudian menutup pintu dan langsung meraih hpnya, android berlayar empat setengah inchi.

Dia mengetik pesan singkat di BBM dan mengirimkannya ke satu kontak yang pasti sudah kau kenal: Alif. Isi pesannya sederhana: “Abi baru saja pulang.”

Ustazah Raudah kemudian duduk di dipan, imajinasinya melayang. Dirinya membayangkan Alif putra Ustazah Aminah bukan sebagai anak kecil biasa yang baru beranjak puber. Setiap kali membayangkan putra semata wayang ustazah raudah itu, dia selalu membayangkan penis yang berukuran sangat besar dan panjang, dan setiap membayangkan penis yang berukuran sangat besar yang pernah menemaninya selama sebulan penuh itu, dia selalu merasa vaginanya perlahan membasah.

Setidaknya sejak setahun yang lalu.

Saat itu, Ustazah Aminah mengatakan bahwa dia membutuhkan bantuan Ustazah Raudah untuk selama sebulan mengajari Alif Bahasa Inggris. Ya, dalam hal ini kemampuan bahasa Inggris Ustazah Raudah memang paling bagus di kalangan penghuni asrama. Dia dulu pernah kursus di Pare, kampung Inggris di Jawa Timur sana, kemudian menuntaskan pendidikan bahasa inggris di kampus islami dekat asrama Syahamah. Maka di bulan ramadhan tahun kemarin itu, ustazah Raudah diajak oleh ustazah Aminah untuk menemani Alif di rumahnya di bandung. Keberangkatannya disengaja dua hari sebelum bulan ramadhan, supaya perjalanan yang panjang ke Bandung tidak membuatnya harus membatalkan puasa.

“Nanti akan Umi bayar juga kok, ukh, santey,” Ustazah Aminah berkata demikian dalam nada guyon.

Ustazah Raudah hanya tersenyum kecil. Baginya, tanpa dibayar pun tak apa-apa, anggap saja itu adalah bagian dari bakti dia pada sang ustazah yang selama ini telah banyak membantunya. Berhubung ustazah aminah saat itu sedang sibuk, demikian juga ustaz karim, maka mereka pun tidak bisa mengantarnya menggunakan mobil pribadi. Maka berangkatlah ustazah Raudah ke bandung dengan menggunakan bis. Sebelum berangkat, ustazah aminah sudah memberikan nomor Alif.

“Nanti kalau sudah sampai ke terminal Cicaheum sms Alif ya, dia akan jemput ukhti.” Begitu pesan ustazah Aminah.

Perjalanan ke bandung saat itu menghabiskan waktu sepuluh jam lebih. Entah, ustazah Raudah tak tahu berapa lama biasanya perjalanan itu dihabiskan. Yang jelas, sepuluh jam itu sudah cukup membuatnya lelah. AC dalam bis juga terasa terlalu dingin membuatnya tak bisa tidur. Maka dia sangat merasa terbantu bahwa dirinya akan dijemput Alif nanti. Setidaknya dia tidak perlu repot mencari-cari angkutan umum.

Sesuai pesan ustazah Aminah, sampai di terminal, ustazah Raudah mengirim pesan pada Alif bahwa dia sudah sampai. Tak lupa juga dia mengatakan di spot mana dia menunggu supaya Alif tidak kebingungan mencarinya. Toh yang namanya terminal di mana-mana pun memang lumayan luas, apalagi terminal Cicaheum memang merupakan terminal bis.

Ustazah Raudah memilih duduk di salah satu bangku terminal, tidak terlalu jauh dari pintu masuk. Sedikit mengantuk, dia mengamati orang-orang yang keluar masuk terminal, siapa tahu dia bisa mengenali sosok Alif putra tunggal Ustazah Aminah itu. Kira-kira lima belas menitan, seseorang menyapanya dari belakang: “Ustazah Raudah?”

Sedikit kaget, Ustazah Raudah menoleh. “Iya, ini Alif?”

Alif tersenyum menampakkan giginya yang rata. “Iya, umi, emm, kupanggil umi saja yah.”

Ustazah Raudah mengangguk. Balas tersenyum. Sosok Alif ternyata jauh dari bayangannya. Dia membayangkan remaja itu sebagai remaja berusia 14 tahunan yang bertubuh kecil, manis, dan malu-malu. Lha ini? Sosok yang ada di depannya ini lebih mirip laki-laki dewasa daripada seorang remaja. Tubuhnya tinggi besar, dan wajahnya…ada keliaran yang tercermin di sana. Bibir yang selalu tersenyum, nada bicara yang nampak riang. Dan, ustazah raudah merasa dia ganteng, hidungnya mewarisi hidung Ustazah Aminah, bentuk wajahnya mewarisi bentuk wajah Ustaz Karim. “Mungkin karena dia anak kota, biasanya kan memang anak kota cenderung cepet besar,” begitu Ustazah Raudah membatin.

“Ini saja bawaan umi?” Alif menunjuk satu kardus kecil yang tergeletak di depan Ustazah Raudah.
“Iya, Lif.”

Alif langsung mengangkat kardus itu, “umi ikuti Alif ya, tadi Alif lewat jalur belakang.”

Barulah Ustazah Raudah paham mengapa sosok itu tak nampak masuk dari pintu depan terminal meski tentu saja dia tak yakin bisa mengenali Alif kalaupun dia melihatnya sebelum Alif menyapanya. Dia kemudian bangkit dan berjalan mengikuti Alif. Bahkan saat berdiri, Ustazah Raudah bisa melihat dirinya kalah pendek dari remaja itu. Diam-diam Ustazah Raudah tertawa dalam hati sambil membatin bahwa sebenarnya Alif memang berusia 14 tahun atau tidak sih? Jangan-jangan info yang dia dapatkan salah.

Sepanjang perjalanan mereka mengobrol ngalor ngidul. Kesan pertama yang didapat oleh ustazah raudah memang benar: Alif anak yang ramah. Dia bersyukur. Akan lebih mudah mengajari anak yang ramah daripada anak yang introvert. Mereka cenderung lebih terbuka untuk bercerita kalau ada masalah pas belajar.

Sepeda motor itu berhenti di depan sebuah rumah bergaya campuran klasik dan modern. Rumah yang sangat megah dalam pandangan ustazah raudah. Halaman luas yang sudah jarang ditemukan di rumah-rumah zaman sekarang, dipenuhi rumput yang nampak rapi. Pohon rambutan berdiri kukuh di satu sudut, dekat dengan satu gazebo yang berarsitektur klasik. Sekeliling rumah di pagar teralis besi dengan ukiran abstrak dengan tugu tembok berdiri di beberapa spot. Berjalan melintasi halaman itu, ustazah raudah tak henti-hentinya melayangkan tatapan kagum ke sekeliling.

Di serambi seorang wanita yang sudah tua menyambut mereka. Ibu Teti, ibunya Ustazah Aminah, sudah tua tapi nampak sehat dan lincah. Dia menyambut ustazah Raudah dengan pelukan hangat seperti seorang ibu menyambut anaknya yang baru pulang. Ah, untuk kedua kalinya Ustazah Raudah merasa lega. Dia yakin dirinya akan betah di rumah itu.

Ternyata di rumah itu ibu Teti hanya tinggal bersama Alif. Kakeknya Alif sudah meninggal saat Alif berusia 8 tahun. Maka di rumah semegah itu hanya ada Ibu Teti, Alif, dan dua orang pembantu lelaki dan perempuan yang bertugas sebagai koki, merangkap pula sebagai tukang kebun, dan beberapa pekerjaan lainnya. Kedua pembantu itu sendiri tidak menetap di sana, mereka hanya datang setiap pagi dan pulang setiap sore, Mang Juma dan Bi Emeh. Keduanya sepasang suami istri yang berumah tak jauh dari rumah Ibu Teti.

“Bagaimana perjalanannya, neng?” Begitu tanya ibu Teti saat mereka sudah duduk-duduk di ruang tengah, menghadapi segelas es teh.

“Lumayan lama, bu, tadi berangkat jam lima pagi.”

Ustazah Raudah masih terkagum-kagum dengan arsitektur interior rumah itu. Rumah dua lantai dengan tangga melingkar ke atas dari ruang tengah itu. Ada 3 kamar di bawah, dan 3 kamar di atas yang nampak, meski sebenarnya ada beberapa ruang yang lain juga di sana. Perabotan rumah nampak tertata rapi, dan indah. Nampak artistik dan mahal.

“Nek, umi Raudah mungkin sudah capek, Alif antar ke kamarnya saja dulu ya, kita bisa ngobrol-ngobrol lagi nanti deh.” Alif menyela sang nenek yang masih mengajukan banyak pertanyaan. Biasa, ibu-ibu selalu punya banyak bahan untuk diobrolkan.

Ustazah Raudah tersenyum dalam hati. Dia membenarkan ucapan Alif. Saat ini dirinya sudah sangat ingin istirahat. Dia sudah sangat ingin mandi, kemudian membaringkan tubuhnya di kasur.

Ibu Teti tersenyum. “Neng Raudah ingin kamar di atas atau di bawah?”

Ustazah Raudah berpikir sebentar. Dia langsung merasakan keinginan untuk memilih kamar di atas saja, dia sudah membayangkan berdiri di balkon yang dia harapkan ada di luar kamarnya, menatap ke kejauhan, ah, Bandung konon indah. Bayangan seperti itu saja sudah membuat pikirannya segar.

“Di atas saja, Bu.” Jawabnya.

“Baiklah. Alif antarkan ustazah ke kamarnya ya, nenek mau ke belakang dulu.”

“Baik nek.” Alif langsung mengangkat kardus tadi. Dia langsung naik tangga sementara ustazah raudah mengikuti. Ternyata lantai dua pun lebih luas daripada yang diduga ustazah raudah. Ada tiga kamar di sana sesuai tebakannya. Kemudian ada juga satu ruangan yang difungsikan sebagai mushola. Di sebelah mushola adalah kamar mandi. Hanya satu, kamar mandi terluas yang pernah ustazah raudah temukan. Di pojok kamar mandi dilengkapi dengan bilik shower.

Kemudian ada lagi satu ruangan dengan meja bundar dan tiga kursi mengelilinginya. Di dinding ada rak tinggi dengan banyak buku nampak. “Ini ruang belajar nanti, umi.” Kata Alif menjelaskan. Selesai menerangkan tentang lantai dua itu, Alif pamit turun dulu ke bawah.

Kamar Ustazah Raudah adalah kamar ketiga dari tangga. Kamar Alif tepat di sampingnya. Sementara kamar yang paling dekat tangga kosong. Konon kamar itu sering digunakan teman-teman Alif saat mereka numpang nginap misalnya.

Ustazah Raudah membuka jendela kamarnya. Dia hampir bersorak gembira menemukan balkon seperti yang dia idamkan. Pemandangan dari sana, senja itu, sangat indah. Horison langit luas membentang, rumah-rumah yang tersusun rapi, di kejauhan gunung tinggi menjulang. Balkon itu terhubung dengan dua kamar lainnya, memanjang, dengan pagar sepinggang kurang lebih, nampak kokoh.

Ustazah Raudah kemudian menutupnya dan menarik tirai. Setelah menghidupkan lampu, dia membaringkan tubuhnya di dipan. “Empuk sekali,” batinnya. Kamar ini pun lumayan luas, lengkap dengan lemari pakaian di pojok, rak buku, dan meja belajar. Ustazah Raudah bangkit, membereskan barang bawaannya. Dia merasa tubuhnya lumayan penat. Maka dia langsung berniat untuk mandi.
Setelah mandi, dia sholat magrib di mushola. Pulang dari mushola itu dia menemukan Alif menunggunya di depan kamar. Entah kenapa dia merasa tatapan remaja itu seperti tanpa berkedip melihatnya. Dia saat itu mengenakan mukena sutera putih kesayangannya. Mukena dengan motif bunga-bunga yang nampak sangat lembut menonjolkan kefeminimannya.

“Umi cantik sekali.” Puji Alif.

“Hei, pujianmu gak akan membuat umi tidak galak pas mengajarmu besok.” Ustazah Raudah mencoba menimpali dengan guyon.

Alif tertawa. “Emang umi bisa galak ya?”

“Lihat saja nanti,” Ustazah Raudah balas tertawa.

“Oya, umi, makan malam dulu yuk, bareng-bareng, sudah ditunggu nenek di bawah.” Alif berkata demikian sambil matanya tak henti menatap ke arah dada ustazah raudah.

Ustazah raudah kemudian masuk dulu ke kamarnya, dia akan mengganti mukenanya dulu dengan baju gamis biasa. Toh ini bukan di asrama. Saat mencopot mukenanya itu dia baru sadar bahwa di balik mukenanya dia hanya mengenakan beha, dan behanya berwarna pink. Mungkin warna itu nampak dari luar mukena suteranya yang tipis. Tapi dia tak berpikir banyak. Toh alif masih remaja, bisiknya.

Makan malam itu berlangsung dengan sangat meriah. Sepanjang makan, Ibu Teti tak henti mengajak Ustazah Raudah mengobrol sampai-sampai Alif mengingatkan neneknya itu untuk makan. Mereka tertawa bersama. Begitulah, hari pertama kedatangannya di sana, Ustazah Raudah langsung merasa dirinya bakalan betah di sana.

Selesai makan, Ustazah Raudah lalu kembali ke kamarnya. Membaringkan tubuhnya di dipan, tak lama kemudian dia tertidur dengan lelapnya.

* * *

Esok harinya, selesai makan pagi, Alif kembali mengajak Ustazah Raudah berkeliling. Kali ini di lantai satu. Ibu Teti sepagi itu sudah berangkat, konon ada urusan bisnis. Salah satu kamar di lantai satu itu ditempati Ibu Teti, dua lainnya kosong, salah satunya biasanya ditempati oleh Ustazah Aminah dan Ustaz Karim. Ke bagian belakang, Ustazah Raudah kembali merasa kaget, bagian sana lebih luas dari yang dia perkirakan. Kamar mandi, tempat mencuci, tempat menjemur pakaian. Kemudian ada juga kolam renang kecil dalam ruangan. Nampak bening dan menggoda. Secara naluriah ustazah raudah teringat masa kecilnya ketika dia sering berenang-renang di sungai jernih di kampungnya.

“Ini kalau umi ingin berenang, di sini tempatnya.” Demikian kata Alif. Di ruangan kolam renang itu ada juga spot untuk duduk di kursi rotan. Di sebelah pojok satu ruang kecil juga disediakan sebagai mushola lantai satu.

Kemudian, ada lorong memanjang menuju pintu ke bagian belakang. Satu kamar yang biasa ditempati oleh pembantu, kemudian dapur, dan kamar mandi lagi. Benar-benar rumah yang tak hentinya membuat Ustazah Raudah berdecak kagum.

“Terus, kapan Alif mulai belajar nih?” tanya Ustazah Raudah. Saat itu mereka berdua sedang menghadapi es teh dan peuyeum bandung di gazebo di luar.

Alif menatap Ustazah Raudah lekat. Kemudian jawaban yang dia sampaikan sama sekali tidak nyambung. “Ustazah cantik sekali dengan gamis cream seperti itu.”

Ustazah Raudah tersenyum. “Hei, ditanya apa jawabnya apa.”

Alif tertawa. “Mulai nanti malam ya umi, besok kan sudah tanggal satu puasa saja ya umi, sore umi adaptasi saja dulu dengan bandung.”

“Baiklah.” Ustazah Raudah mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Sementara itu Alif mengamati ustazah. Gamis creamnya merupakan gamis kombor tapi mata tajamnya bisa melihat bahwa dada sang ustazah itu nampak menonjol dilindungi oleh kerudungnya yang sepinggang. Perlahan penis di balik celananya menegang.

“Srupuut,” Ustazah Raudah menyeruput es tehnya, kemudian dia bangkit berjalan-jalan di sekitar pekarangan itu. Alif hanya memandang saja sambil duduk. Sesekali dia mengusap penisnya dari balik celana, membenarkan posisinya yang semakin liar saja di balik celana dalam yang dia pakai.
Ustazah Raudah berhenti di bawah pohon rambutan. Dia sedikit berjongkok mengamati alur yang nampak artistik di batang pohon itu. Melihat posisi itu penis Alif semakin menegang. Dia membayangkan menusuk vagina sang ustazah dari belakang sementara sang ustazah berjongkok dan memegangi batang pohon itu. Ahh, betapa indahnya, begitu dia membatin.

Tak tahan dengan imajinasinya sendiri, Alif berdiri dan melangkah menghampiri Ustazah Raudah. Dia berdiri di belakangnya. Sempat terpikir olehnya untuk menekan pantat yang menggoda di balik gamis itu dengan tonjolan penisnya, sekadar untuk menguji tanggapan sang ustazah. Tapi dia tak mau tergesa. Bahkan sebagai remaja pikiran alif memang sudah matang, dia memang dewasa sebelum waktunya. Dia pikir bahwa jangan tergesa-gesa daripada nanti malah buyar segala rencananya.

“Alon-alon asal kelakon,” begitu pikirnya.

Maka dia hanya berdiri saja dan mengajak ustazah raudah bercakap-cakap. Ustazah raudah sementara itu sudah berdiri kembali dan saling berhadapan dengan alif. Sesekali terdengar tawa renyahnya ketika alif menyelipkan guyonan ke dalam percakapan mereka. Sungguh, jika dilihat sepintas keduanya lebih mirip suami istri yang sedang menikmati hawa segar pagi kota bandung daripada guru dan murid sebagaimana status mereka demikian adanya.

Seharian itu hanya bersantai sajalah yang dilakukan oleh ustazah raudah, bersantai dan mengenal lebih dekat rumah yang akan dia diami sebulan ke depan. Sempat ada alif menawarkan untuk jalan-jalan ke luar, akan tetapi ustazah raudah belum mengiyakannya. Dia belum berpikir untuk berjalan-jalan, menurutnya masih banyak yang menarik dari rumah ini untuk dijelajahi dan mereka bisa jalan-jalan ke luar suatu hari nanti.

Besoknya sudah masuk tanggal satu ramadhan. Maka mulai malam itu rencananya ustazah raudah akan memulai kursus bahasa inggrisnya dengan alif. Mereka sepakat bahwa pelajaran akan dilakukan setiap malam hari setelah tarawih, dan sore hari setelah ashar.

Malam itu, mereka bertiga, Alif, Ibu Teti, dan Ustazah Raudah berjamaah sholat tarawih. Alif menjadi imam, kedua wanita menjadi makmum di belakangnya. Setelah sholat tarawih, Ibu Teti kemudian pamitan tidur lebih dulu di kamarnya, tak bisa menemani mereka belajar. Ustazah Raudah mengiyakan saja, kemudian dia pergi sebentar ke kamarnya membawa diktat Bahasa Inggris, sementara Alif pergi ke dapur membuatkan teh hangat.

Dimulailah sesi belajar bahasa Inggris itu.

Ustazah Raudah mengakui bahwa otak Alif memang cerdas. Anak itu bisa memahami dengan cepat semua penjelasannya. “Kalau begini terus dalam sebulan kau sudah jadi bule, Lif,” begitu seloroh Ustazah Raudah. Pelajaran malam itu sudah usai. Keduanya memutuskan untuk bercakap sambil menghabiskan teh.

Alif tertawa. “Yang ngajar seksi sih.” Jawabnya sambil lekat menatap Ustazah Raudah. Malam itu ustazah Raudah masih memakai mukena seperti malam kemarin: sutera putih dengan motif kembang-kembang. Tentu saja beha yang dia pakai pun masih yang kemarin. Warna pink tampak membayang di bagian dadanya. Ke sanalah tatapan Alif dengan liarnya menancap.

Semula Ustazah Raudah merasa risih. Akan tetapi setelah meminum tehnya dia merasa lebih rileks. Bahkan kini perasaan aneh berdesir dalam hatinya. Ada gairah yang mencuat merasakan dirinya bisa kelihatan menarik di mata laki-laki. Tentu saja ustazah raudah tak tahu bahwa Alif meneteskan obat perangsang ke dalam teh Ustazah Raudah. Dosis kecil. Permulaan.

“Hush, padahal tadi ngakunya belum dewasa dan tak mau jadi imam,” Ustazah Raudah membalas.

Alif cuma cengar cengir. Naluriah tangannya mengusap kontolnya yang menegang di balik celana. Kemudian seperti baru teringat sesuatu, dia mengeluarkan androidnya dari saku. “Eh, Ustazah punya BBM enggak?”

“Punya lahh,” entah kenapa Ustazah Raudah menjadi ingin bermanja-manja. dia mengerling sambil meneruskan, “emang kamu kira mentang-mentang ustazah terus tak punya BBM?”

“Hehe, minta dong, umi sayang,” Alif kemudian menggeser kursinya ke sebelah ustazah raudah.

Tercium oleh ustazah raudah bau laki-laki yang membuat jantungnya berdebar makin kencang. Alif menyodorkan hpnya menampilkan barcode BBM untuk discan. Ustazah raudah kemudian menyecannya.

Alif kemudian mengotak-atik hpnya merapikan kontak, sementara ustazah raudah tanpa sengaja menyenggol diktatnya di meja yang membuat pulpennya menggelinding ke pinggir meja, ke arah Alif duduk. Refleks dia mengulurkan tangannya menadah hendak mengambil pulpen itu yang sudah melayang dari meja. Srettt, pas, pulpen itu tertangkap, tapi punggung tangan ustazah raudah menyentuh sesuatu yang kenyal liat sepintas.

Penis Alif. Ustazah Raudah langsung menarik kembali tangannya dengan malu. Wajahnya bersemu merah. Sementara Alif mengejat kaget. Tapi dia kemudian berkata sambil mengedipkan matanya ke Ustazah Raudah, “ ustazah nakal.”

“Maap, gak sengaja Lif.” Ustazah Raudah menundukkan kepalanya, sebagian karena malu, sebagian untuk menutupi debar jantungnya yang kian gak karuan.

“Gak apa-apa kok, disentuh lagi juga gak apa-apa,” jawab Alif. Dia kembali cengar-cengir. “Habiskan dulu tehnya umi, biar Alif saja yang nanti membawa gelasnya ke dapur.”

Ustazah Raudah meneguk tehnya sampai habis. Setelah basa-basi sedikit, dia pergi ke kamarnya sementara Alif pergi ke lantai bawah, ke dapur.

Di kamarnya, ustazah Raudah langsung membaringkan tubuhnya di kasur. Di benaknya terbayang tadi saat dia menyentuh kontol Alif. Dia mengelus-elus punggung tangannya, masih tertinggal rasa kenyal yang membangkitkan birahinya. Pengaruh obat perangsang yang dimasukkan Alif makin tinggi. Perlahan tangannya menelusup ke dalam mukenanya, mengelus pahanya kemudian semakin ke atas...

“Sshhhh,” tubuhnya menggelinjang, mulutnya mendesis.

Ting tongg. Bunyi penanda pesan BBM di hpnya mengangetkannya. Refleks dia langsung menarik tangannya kemudian menggapai hpnya yang dia taruh di meja samping dipan.

“Umi.” Hanya itu. Pesan dikirim oleh Alif.

“Ya, ada apa lif?” Balas ustazah raudah.

“Linu nih gara-gara umi.”

Jantung ustazah raudah berdetak makin cepat. “Apanya yang linu hayoo?”

“Itu...”

“Apa?”

“Ah kalau kusebutkan umi bakalan marah.”

“Kontol,” tanpa sengaja ustazah raudah mendesis sebelum kemudian tersadar dan menutup mulutnya. Lalu dia tersenyum sendiri. Dia heran sendiri kenapa dirinya mendadak jadi binal. “Ayo sebutkan saja,” balasnya.

Lama tak ada jawaban. Ustazah Raudah menunggu. Sementara itu imajinasinya makin meninggi. Dia membayangkan alif datang ke kamarnya membiarkan dirinya kembali menyentuh benda kenyal itu. Ahhh, ustazah raudah selama ini belum punya pacar karena itu haram bagi seorang ukhti, paling banter dia hanyalah ketidaksengajaan melihat gambar-gambar kemaluan dalam artikel tentang kesehatan di internet. Tadi itu pengalaman pertamanya menyentuh penis.

“Mungkin karena itu aku jadi binal,” pikirnya.

Tangannya kemudian kembali menelusup ke balik mukena. Mengelus-elus pahanya, naik ke atas, “hhhhh,” tubuhnya kembali menggelinjang saat tangannya menyentuh itilnya. Tak tahan, dia menarik tangannya kemudian menyamping dan memeluk guling erat dengan kedua tangannya. Diposisikannya guling itu di sela kedua pahanya. “Ahhh,” terdengar desahannya saat digesek-gesekkannya vaginanya ke guling itu dari balik mukena. Terasa lembut melenakan.

Ting tong, satu pesan BBM kembali masuk. Tanpa mengubah posisinya, ustazah raudah membuka pesan itu. Pesan gambar. Mata ustazah raudah membelalak menatap foto bagian selangkangan Alif. Memang foto itu diambil alif tanpa mencopot celananya. Akan tetapi nampak jelas alur batang yang ada di dalamnya. Tegang. Sepertinya alif tak memakai celana dalam.

“Saruu,” balas ustazah raudah. Tangannya makin liar menggesek-gesekkan guling.

“Tapi ustazah suka kan?” alif membalas dengan diakhiri oleh emotikon senyum. “Tanggung jawab nih umi.”

“Tanggung jawab gimana?” ustazah raudah membalas sambil mendesah.

Tak ada jawaban dari alif. Sementara itu ustazah raudah mengubah posisinya menjadi di atas guling, WOT. Dia memeluk erat guling itu sambil mengerak-gerakkan tubuhnya maju mundur. Selangkangannya menggesek dan menekan kuat permukaan gulingnya. Jika kau melihatnya terus malam itu, maka kau akan menemukan saat ketika Ustazah Raudah akhirnya melenguh panjang sebelum kemudian menjatuhkan tubuhnya ke samping guling, terlentang. Bagian mukena yang menutupi area selangkangannya nampak basah. Sekujur tubuhnya dipenuhi keringat. Setelah menenangkan nafasnya, tak lama kemudian dia terlelap.

* * *

Esok harinya sebenarnya Ustazah Raudah sedikit malu untuk ketemu Alif mengingat apa yang terjadi tadi malam. Akan tetapi ketika dia melihat bahwa remaja itu nampak biasa seolah tak ada apa-apa tadi malam, maka dia pun mencoba bersikap biasa. Dia bersyukur, setidaknya dia bisa menganggap kejadian tadi malam itu mungkin hanya guyonan.

Selama beberapa hari selanjutnya juga tak terjadi apa-apa. Satu kali Ustazah Raudah diajak keluar oleh Alif ke alun-alun, membeli jajanan untuk dimakan waktu buka. Kursus juga berjalan lancar, satu dua kali Ibu Teti ada menemani. Ketiganya kemudian biasa mengobrol setelah kursus sampai larut sambil menikmati sirup dingin dan keripik kentang.

Suatu sore, Ustazah Raudah baru dari lantai bawah dan akan ke kamarnya. Kursus sore itu libur karena Alif mengatakan dia agak kurang enak badan. Untuk pergi ke kamarnya otomatis ustazah raudah melewati depan kamar alif. Sebenarnya ustazah raudah tak berniat mengintip, akan tetapi dari pintu kamar yang tidak sepenuhnya tertutup rapat, dia sayup-sayup mendengar desahan: “umii, ahh, ustazahh....”

Penasaran, dia melihat dengan hati-hati dari sela pintu itu. Pemandangan di dalam membuatnya tersentak. Nampak alif dengan tubuh telanjang sedang berbaring telentang. Tangan kanannya menggenggam hp yang lekat dia pandangi sementara tangan kirinya mengocok kontolnya yang tegak mengacung dengan liar. Yang membuat ustazah raudah lebih kaget lagi adalah kain yang digunakan untuk membungkus kontol itu. Itu celana dalamnya, belang-belang merah putih. Seingatnya celana dalam itu dia masukkan ke dalam keranjang cucian kotor di kamarnya.

Kemudian nampak kocokan tangan Alif semakin liar dan mendadak dia bangkit, mengambil posisi seperti push up, tubuhnya ditahan dengan tangan kanannya sementara tangan kirinya kembali mengocok kontolnya. Kembali ustazah raudah terkesiap melihat benda yang diposisikan di tempat tidur tepat di bawah kontol Alif. Itu behanya yang warna pink! Barang yang sama ditaruh dengan celana dalamnya yang belang-belang itu.

“Argghhh, Alif keluar umiii, umi, alif keluarin di memekmu, arghhhhh,” nampak tubuh alif menegang kaku, tangannya berhenti mengocok, kemudian muncratan-muncratan liar cairan putih kental keluar ditampung oleh cup behanya.

Dengan sedikit mengendap-endap ustazah raudah pergi ke kamarnya. Perasaannya campur aduk. Dia memeriksa keranjang cucian kotornya dan memang kedua barang itu tak dia temukan di sana. Setelah termenung sejenak, akhirnya dia memutuskan untuk mandi. Masalah ini nanti saja dia pikirkan, yang jelas dia merasa serba salah.

Selesai mandi, penasaran Ustazah Raudah mengecek kembali tempat pakaian kotornya. Celana dalam dan behanya sudah kembali. Dia mengambilnya dan merasakan basah di sana. Naluriah dia mendekatkan kedua benda itu ke hidungnya.

Mmmm, begitu hidungnya menghidu campuran keringat dirinya sendiri dan bau tajam air mani Alif. Bau itu membangkitkan perasaan aneh dalam dirinya. Dia mendekatkan wajahnya hendak mencium kedua benda itu saat terdengar ketukan di pintu.

Ustazah Raudah segera mengembalikannya ke keranjang cucian. Kemudian terburu dia membuka pintu seiring detak jantungnya yang kembali meningkat. “Jangan-jangan Alif,” pikirnya.

Ternyata bukan. Ibu Teti. Penampilannya nampak rapi, seperti ibu-ibu sosialita. Dia tersenyum.

“Eh ibu,” sapa Ustazah Raudah. “Ada apa bu?”

“Ibu pamit dulu, neng.”

“Eh, pamit ke mana bu?” Ustazah Raudah bertanya heran.

“Ada acara ziarah wali songo. Harusnya kemarin sebelum ramadhan, tapi yah, tahu sendiri lah, ibu-ibu kompleks sini kan kadang memang dapat duitnya tidak menentu,” Ibu Teti tertawa. “Paling tiga harian. Enggak sampai seminggu kok. Kalau ada apa-apa bilang saja ke Alif ya, atau ke Mang Juma dan Bi Emeh.”

“Oh gitu, iya bu. Semoga lancar ya,”

“Sebenarnya ibu ingin mengajak eneng, tapi nanti Alif malah kursusnya gak selesai, kan tanggung sudah dibelain jauh-jauh dari Yogya kok gak sukses,” demikian Ibu Teti mengakhiri percakapan itu dengan senyum di ujung. Kemudian dia pamitan langsung berangkat.

Sepeninggal Ibu Teti, Ustazah Raudah langsung merenung di kamarnya. Ada perasaan aneh merasakan bahwa dirinya kini hanya berdua saja dengan Alif di rumah itu. Toh Mang Juma dan Bi Emeh kan hanya seharian. Malam hari? Imajinasi Ustazah Raudah langsung bermain.

“Pukk,” dia menepuk jidatnya sendiri. “Ah, jangan berkhayal yang macam-macam, Raudah, kau itu ukhti, akhir-akhir ini pikiranmu kotor padahal ini bulan ramadhan,” begitu dia berkata pada dirinya sendiri. Kemudian dia berwudhu dan tadarus di mushola.

Malamnya, kursus seperti biasa berjalan lancar. Tidak ada tragedi Ustazah Raudah menyentuh kontol Alif seperti kemarin, dan dia merasa lega. Alif juga menampakkan dirinya sebagai murid yang sopan. Kalaupun ada guyonan, maka guyonan itu hanyalah guyonan wajar. Merasa lega, Ustazah Raudah meneguk teh hangatnya dengan nikmat. Dia tidak tahu bahwa untuk malam itu Alif sudah punya rencana, dan di teh hangat itu sudah dia campurkan tetes obat tidur dengan dosis sedang.

Tak heran kemudian Ustazah Raudah merasa ngantuk tidak lama kemudian. Selesai kursus, dia langsung pamitan akan tidur. Bahkan saat berjalan menuju kamarnya pun ustazah raudah sudah merasa setengah tidur. Dia berjalan seperti melayang dan langsung membaringkan tubuhnya di tempat tidur.

Bahkan dia lupa mengunci pintu kamarnya.

Jam 1an, Ustazah Raudah terbangun. Dia merasakan sesuatu yang aneh: tangannya tak bisa digerakkan, demikian juga kakinya. Setelah pikirannya terang, barulah dia sadar bahwa dia terbaring menelentang dengan kedua tangan dan kedua kaki terikat masing-masing di pangkal dan ujung ranjang, masing-masing kanan dan kiri. Posisinya membuat tubuhnya terbuka lebar, meski kemudian dia juga menyadari bahwa untunglah dirinya masih mengenakan mukena lengkap.

“Sudah bangun, ustazahku?” terdengar satu suara menyapa dari sampingnya.

Terkejut, ustazah Raudah mengangkat sedikit kepalanya menoleh dengan susah payah. Alif. Tapi yang membuat ustazah Raudah makin terkejut lagi adalah remaja itu sedang duduk dengan santainya di kursi samping tempat tidurnya tanpa mengenakan apapun. Bugil. Tumpang kaki. Di tangannya sebuah buku.

“Alif! Apa-apaan ini?” Suara Ustazah Raudah langsung meninggi.

“Psst, psst, tenang,” Alif berkata dengan santai. Dia kemudian bangkit. Meletakkan buku di meja Ustazah Raudah. Tadi dia memang mengambil buku yang judulnya “Ukhti Muslimah dan Tantangan Dunia Modern” itu dari sana. kemudian dia duduk di dipan samping kepala ustazah raudah. Tangannya membelai kepala ustazah raudah lembut. “Alif kan sudah bilang ustazah harus tanggung jawab.”

“Tanggung jawab apa Lif? Lepasin ustazah.” Ustazah Raudah mencoba menggoyang-goyangkan tangan dan kakinya. Sia-sia. Kain yang mengikat tangannya terasa sangat kuat dan kukuh.

“Percuma, Umi, Alif paling jago di tali temali. Alif kan ikut di pramuka.” Kata Alif. Kemudian wajahnya turun, dan....cuupppp. bibirnya mencium bibir ustazah Raudah dengan mesra.

Ustazah Raudah menggeleng-gelengkan kepala. “Alifffff,” teriaknya. Perasaan jengkel, takut, tegang, bercampur menjadi satu. “Umi teriak, Alif, kalau Alif gak lepasin.” Dia mencoba mengancam.

Alif tertawa. “Teriak saja Umi, emang siapa juga yang mau dengar.”

Ustazah Raudah kemudian menyadari juga kebenaran ucapan Alif. Tak ada siapa-siapa yang lain di rumah ini, rumah tetangga juga lumayan berjarak karena halaman yang luas. Putus asa, dia kembali menggoyang-goyangkan tangannya. “Alif lepasin, Alifff.”

“Enggak mau, umi, enggak mau,” jawab Alif dengan nada menggoda. Kemudian dia mengambil posisi mengangkangi ustazah Raudah di bawah mulut. Sebelum ustazah Raudah sadar, kontol Alif sudah nyelonong menyentuh bibirnya. “Kulum dong umi. Masih ngilu nih kemarin umi pukul.”

Ustazah Raudah memalingkan kepalanya. Dia merasa malu. Ini kali pertama dia melihat benda itu sejelas dan sedekat ini. Ada bau asing menyeruak ke dalam hidungnya.

“Ayo dong umi.”

“Lepasin umii, Aliff! Lepasin!” Ustazah Raudah kembali menggoyang-goyangkan tangannya.

Alif bangkit dari posisinya. Semula Ustazah Raudah mengira bahwa remaja itu sadar dan akan melepaskannya. Akan tetapi ternyata dia hanya mengambil satu benda dari mejanya, kemudian memencet satu tombol di sana.

Drrrrrrrrrrrt, Ustazah Raudah sontak menggelinjang, bagian tengah tubuhnya refleks terangkat. Saat itu dia baru sadar ada benda bergetar di vaginanya, menimbulkan rangsangan yang semakin lama makin meninggi, drrrr drrrrrrrrrrrrrrrrttttt.

“Aliff! Uhhhhh! Liff!” Ustazah raudah menggelinjang gelinjang tidak tahan. Matanya sesekali membeliak, sesekali menutup. Alif sementara itu hanya memandang saja sambil berdiri bersandar di meja. Penisnya perlahan semakin menegang tegak.

Setelah 3 menitan, Alif kemudian memencet kembali tombol itu, dan getaran di vagina Ustazah Raudah terhenti. Tubuh Ustazah Raudah ambruk ke tempat tidur. Nafasnya seperti nafas orang yang sudah berlari jauh. Bulir-bulir keringat nampak di dahinya.

“Gimana ustazah? Mau ngulum kontol Alif apa mau orgasme sendirian?” Alif bertanya kemudian tersenyum nakal. “Ustazah baru sadar ya, ustazah sekarang tu sedang pake produk canggih strapon stimulator itil sama vagina. Tuh,” Alif dengan nakalnya menyingkap mukena bagian bawah ustazah raudah, “warnanya cream lho ustazah, kesukaan ustazah kan?”

Tentu saja percuma, dalam posisinya seperti itu, ustazah raudah tak bisa melihatnya. Dia tak mengeluarkan jawaban apa pun. Nafasnya masih kembang kempis.

“Baiklah kalau gitu...” tangan Alif kembali akan memencet tombol...

“Jangannnn!” Ustazah Raudah menjerit.

“Jadi...” Alif sengaja menggantung ucapannya.

Ustazah Raudah tak menjawab.

“Jadi umi kulum....”Alif berhenti. “Terusin dong mi, kulum apa?”

“Iya.”

“Lho kok jawabannya ‘iya’, kulum apa umi? Sebutin saja.”

“Kon...kontol.” nada ragu terdengar dalam jawaban ustazah raudah.

“Yang tegas dong, gak kedenger nihh.”

“Kontol!” Ustazah Raudah berteriak dengan putus asa.

“Nah gitu.” Alif tertawa terbahak-bahak.

“Awas nanti umi laporin ke ibu, Alif.” Ustazah Raudah masih mencoba mengancam.

“Kita lihat saja nanti.” Alif menjawab sambil mengedipkan matanya. Dia kemudian naik ke ranjang, melongggarkan kain yang mengikat tangan ustazah raudah menjadi lebih panjang terulur. Dengan posisi itu, gampang bagi dia kemudian untuk menegakkan bagian tengah ke atas tubuh ustazah raudah dengan membuat ganjalan punggung menggunakan tumpukan bantal.

Dalam posisi ustazah raudah duduk seperti itu, Alif kemudian berdiri di depannya. Penisnya yang sudah tegak mengacung disodorkannya kembali ke depan mulut ustazah raudah.

Ustazah raudah tak tahu apa yang harus dia lakukan. Akan tetapi naluriah dia membuka sedikit mulutnya, menyungkup kepala kontol alif. Rasa yang aneh yang baru kali itu dia rasakan. Kemudian terdengar suara alif, “jilat dulu, umi, jilat.”

Ustazah raudah mengeluarkan lidahnya menjilat kepala kontol Alif, semula dia nampak ragu, tapi kemudian semakin mantap. Ahhh, terdengar sekilas desahan alif. Setelah puas kontolnya dijilati, alif menyuruh ustazah raudah untuk membuka mulutnya lebih lebar dari tadi dan mengulum kontolnya.
Itulah untuk pertama kalinya Ustazah Raudah merasakan benda asing bernama kontol itu masuk ke dalam mulutnya. Hanya sepertiga yang masuk, dan itu pun sudah membuat dirinya sedikit susah bernafas. Alif tak peduli. Tangannya kemudian memegang bagian belakang kepala ustazah raudah yang terlindung mukena dan mendorongnya ke dapan ke belakang seirama gerakan mengulum ustazah raudah.

Lalu tiba tiba, “drrrrrrrttttt drrrrrrrrrrttt, “ ustazah raudah kembali merasakan getaran merangsang di memeknya. Dia kalang kabut dan akan melepaskan kulumannya di kontol alif, akan tetapi alif memegang erat-erat kepala ustazah raudah sehingga tak bisa melakukan apa-apa selain melakukan gerak mengulum seiring tangan Alif yang menggerakkan kepalanya maju mundur. Sementara itu, rangsangan di vaginanya semakin menjadi-jadi. Saking tak tahannya, dari sela-sela kontol yang memenuhi mulutnya, dari sudut mulutnya menetes air liur.

Setelah merasa puas, alif kemudian mencabut kontolnya. Splasshh, kontolnya nampak licin mengkilap berlumur air liur ustazah raudah. Ustazah raudah sementara itu hanya bersandar di tumpukan bantal sambil mulutnya mengeluarkan erangan-erangan nikmat. Vibrator yang dipasang pada strapon di selangkangannya terus bergetar memberikan sentuhan-sentuhan kenikmatan pada saraf di sekujur tubuhnya.

Semakin lama dia semakin tidak tahan, tangannya ingin melepas vibrator itu, tangan itu juga ingin terbebas, tapi dia tak berdaya. Maka dia hanya bisa membanting-banting tubuhnya di kasur. Erangan tak hentinya keluar dari mulutnya. Alif hanya memandang pemandangan erotis itu sambil berdiri di samping dan mengocok kontolnya.

“Akhh, ukhhhh,” desahan ustazah raudah semakin meninggi. Pada akhirnya dia mencapai puncak kenikmatan. Tubuhnya melengkung seiring lenguhan kenikmatan memancar dari mulutnya. Beberapa detik setelah itu tubuhnya ambruk ke kasur. Alif mematikan vibrator. Dia kemudian duduk di dipan samping kepala ustazah raudah. Tangannya membenahi rambut ustazah yang keluar dari sela mukena. Tangan yang sama kemudian mengusap keringat yang muncul di dahi ustazah.

Ustazah raudah tak mengatakan apapun. Pengalaman orgasmenya barusan masih menyerap separuh kesadarannya. Alif kemudian menyodorkan segelas teh yang dia ambil dari meja, “Ustazah capek kan? Ini minum dulu biar segar.”

Naluriah ustazah raudah menerima teh itu dan meminumnya. Alif tersenyum. Rencana selanjutnya akan berjalan mulus. Dia sudah memberikan beberapa tetes obat perangsang dosis tinggi ke dalam minuman itu. Dengan lembut dia kemudian beranjak ke bagian selangkangan ustazah raudah dan melepaskan strapon yang dipasang di sana.

Ustazah raudah melepas lega tanpa tahu apa lagi yang bakal menimpanya. Dikiranya semua ini sudah berakhir.

Beberapa saat hening dalam kamar. Alif merapikan mukena yang dipakai oleh ustazah raudah. Sementara itu ustazah raudah hanya berbaring saja tanpa mengatakan apapun. Semula dia merasa tubuhnya terasa sangat lemas setelah orgasme. Akan tetapi dia kemudian merasakan kekuatan baru memancar dalam tubuhnya. Ada perasaan aneh. Gairah. Dan dia merasa ada rasa rindu untuk merasakan orgasme lagi seperti tadi.

“Alif....aaaaaahhhhhh, ahh aaaahhhhhhhh,” ustazah raudah baru saja hendak mengatakan sesuatu ketika dia kembali merasakan getaran, kali ini bukan di selangkangannya, melainkan di puting susunya. Ternyata alif sudah memasang perangsang puting juga di sana. Bentuknya seperti cup beha super mini, dihidupkan oleh remot yang lain.

Kembali tubuh ustazah raudah menggelepar-gelepar. “Akhhh, liff, akhhhh,” dia hanya mampu mengeluarkan lenguhan-lenguhan tak jelas. Birahinya meningkat drastis dipantik juga oleh obat perangsang yang mulai bereaksi. Alif hanya tersenyum-senyum menatap pemandangan itu sambil kembali mengocok-ngocok penisnya.

“Aduhhh, alifff, tolong, akhhh,”

“Tolong apa, umi,” kata Alif, dia kini duduk di dipan. Tangannya dengan lembut membelai bagian dalam paha ustazah raudah, bergerak pelan ke atas...

“Auhhhhhh, ukhhhh,” ustazah raudah merasakan kenikmatan dari sentuhan itu. Sangat nikmat. Jauh lebih nikmat dari tadi. Tuhan, kenapa nikmat sekali, begitu jerit Ustazah Raudah.

Setelah puas mengusap-usap paha ustazah raudah. Alif kemudian mengambil posisi di antara kedua paha ustazah raudah. Penisnya sudah menegang sempurna, siap menusuk vagina ustazah raudah yang sudah nampak basah. Sebagian karena orgasmenya tadi, sebagian karena cairan birahi yang kembali memancar. Ustazah raudah masih menggelepar-gelepar merasakan rangsangan di puting susunya.

“Jangan, liff, ukhhh, ja...ngan...”

“Jangan apa umi?” tanya Alif. Dia mengusap-usapkan ujung penisnya ke itil ustazah raudah.

“Akhhh, ukhhh.... masukkann.”

Alif tertawa. “Masukkan, umi? Baiklah, Alif masukkan ya.” Alif mengambil posisi siap menusukkan penisnya. Dia singkapkan mukena ustazah Raudah ke atas supaya tidak menghalangi.

“Ahhhh, maksudku...jangann n n...”

Alif tak menjawab. Dia kembali mengusap-usapkan kepala penisnya ke mulut memek ustazah raudah yang tampak bersih tanpa jembut. Dengan satu tangan dia menopang tubuhnya sehingga tidak ambruk menimpa tubuh ustazah raudah. Ustazah raudah sementara itu merasakan vaginanya berkedut-kedut merindukan pasangannya. Di satu sisi nuraninya mengatakan bahwa dia harus bertahan. Akan tetapi gabungan serangan perangsang yang sekarang dialaminya terlalu kuat untuk dilawan.

Akhirnya, ustazah raudah tak tahan. Dia kemudian sedikit mengangkat pinggulnya sehingga untuk sesaat vaginanya membuka menampung sedikit kepala kontol Alif. Hanya sesaat, karena kemudian tubuhnya kembali ambruk. “Uhhhhhhh,” terdengar dia mengerang.

“Umi pengen kontol ya?” Alif berkata menggoda.

“Konn..tolll, uhhh,” ustazah raudah sudah kehilangan kewarasannya. Matanya sayu menatap Alif sementara mulutnya terus menerus mengeluarkan desah yang berkepanjangan.

“Masukkan ya umi?” Alif sedikit menekan kepala penisnya.

“Iyaaaa, masukk...kannn, uhhhh,”

Alif perlahan memasukkan kepala penisnya. Dia tahu bahwa ustazah raudah masih perawan, maka supaya dia tidak merasa kesakitan, dia harus melakukannya perlahan. Sedikit demi sedikit penis itu melesak masuk. Sangat sempit menjepit. Mulut ustazah raudah mengeluarkan lenguhan nikmat. Dia kemudian sedikit menggerakkan pinggulnya membantu, separuh masuk, ujung penis Alif terasa menyentuh sesuatu yang sedikit menahan geraknya, memberikan sensasi tersendiri saat dia kembali mendorong, kemudian....plasssshh “ukhhhhhhhh,” seiring lenguhan panjang ustazah raudah, penis Alif menembus keperawanannya. Ngilu bercampur nikmat. Apalagi ketika Alif kemudian mulai menggerak-gerakkan penisnya maju mundur dengan perlahan, terasa lembut, membuatnya terlena.

Alif kemudian mengambil insiatif mematikan perangsang di puting susu ustazah raudah. Dengan mudah dia mencopotnya. Kemudian dengan brutal dia melumat dan menghisap puting itu penuh gairah, sementara tangannya yang satu mengentel-gentel puting yang lain.

Irama kedua selangkangan yang saling beradu itu terlihat liar. Ustazah raudah sudah tak memikirkan apapun selain mendapatkan kenikmatan. Dengan naluriah dia menggerakkan pinggulnya penuh semangat mengimbangi gerakan Alif. Tiba-tiba....

Ploppppp, Alif mencabut penisnya. “ngngnghhhh,” Ustazah raudah mengeluh. Matanya menatap Alif seolah bertanya kenapa. Selangkangannya bergerak melelengkung ke atas seperti ingin menggapai penis Alif. Birahinya masih bergejolak sedang nikmat-nikmatnya.

Alif hanya tersenyum. Dia turun dengan sigap dari ranjang kemudian dengan gerakan cepat melepaskan semua kain yang mengikat tangan dan kaki ustazah raudah. Bahkan sebelum ustazah raudah menyadari sepenuhnya apa yang dia lakukan, Alif sudah berada di antara kedua pahanya kembali dan menusukkan kontolnya untuk kedua kali ke dalam memeknya.

“Aggggghhhhhhh, ahhh ahhhh,” ustazah raudah kembali merintih nikmat. Tangan dan kakinya kini bebas, kakinya membelit pinggang Alif dengan kuat sementara tangannya menekan-nekan kepala remaja itu ke buah dadanya. Meminta ransangan yang lebih nikmat.

Gerakan pinggul kedua insan itu semakin harmonis, kian lama kian cepat. “Ahhh, auhhh, umi...hampir...Alif, ahhhh ahhh.”

Alif tahu ustazah raudah kembali hampir mencapai puncak. Maka dia semakin intens menggenjot memeknya sementara mulutnya juga semakin liar menghisap dan melumat puting susu yang menjulang indah dari balik mukena yang sudah dia singkapkan. Betapa indahnya sensasi ini. Dia bisa mengentot ustazah yang dalam kesehariannya sangat alim. Gurunya. Anak buah uminya. Ahhh, alif mendesah penuh kenikmatan.

Tibalah ustazah raudah pada orgasme keduanya. Mulutnya menganga lebar sementara matanya membeliak menatap langit-langit. Tubuhnya melenting sementara selangkangannya mengejat-ngejat seiring dengan sodokan Alif yang kuat. “Aggh, aghhhhhhhhhhhhhhhh.” Setelah itu tubuhnya ambruk ke kasur. Alif diam sejenak memberikan waktu bagi ustazah raudah untuk menikmati puncak kenikmatannya yang kedua kali. Setelah itu dia kembali meneruskan menggenjot tubuh yang sudah mulai lemas itu.

“Ahhhh nngngnggnngng ukhhhh ukhhh,” hanya terdengar lenguhan nikmat ustazah raudah yang dengan susah payah mencoba mengimbangi genjotan Alif. Lama kemudian barulah Alif menggeram panjang, memberikan sodokan-sodokan terakhir yang lebih kuat dari sebelumnya, kemudian dia mencabut penisnya dan menarik ustazah raudah berdiri. Dia arahkan penisnya ke mulut ustazah raudah. Ustazah Raudah surti dan membuka mulutnya kemudian mengulum penis raksasa itu dengan penuh gairah.

“Ahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh, lonteeee! Lonte ustazah! Umi lontee ahhhhhhhh”. Teriakan panjang Alif mengakhiri persenggamaan pertama mereka. Ustazah raudah merasakan pancutan-pancutan keluar dari penis di dalam mulutnya. Dia hampir tersedak. Ketika kemudian alif mencabut penisnya, cairan putih meleleh keluar dari sudut mulutnya.

Keduanya kemudian berbaring berdampingan merasakan lelah yang luar biasa. Ustazah raudah membalik tubuhnya membelakangi Alif sambil merapikan mukenanya. Alif kemudian memeluk ustazah raudah dari belakang. Hangat dan sedikit basah oleh keringat. Dia memeluknya erat sambil berbisik di telinga: “Ustazah yang minta dimasukkan lho, makasih ya, ustazah sudah mengambil perjaka Alif dengan sangat nikmat.”

Ustazah Raudah tak menjawab. Ada sedikit rasa sedih dibawakan oleh kesadarannya. Tanpa sadar matanya terasa panas. Akan tetapi dia juga sadar bahwa dirinya sangat menikmati persetubuhan tadi.

* * *

Setelah persetubuhan pertama mereka, Alif terus mencekoki minuman ustazah raudah dengan obat perangsang sehingga pada akhirnya ustazah raudah pasrah karena merasa bahwa tubuhnyalah yang lebih sering meminta dipuaskan daripada alif. Dia merasa kesalahan lebih banyak tertumpu pada dirinya, bukan pada Alif, dan celakanya dia merasa kecanduan.

Seperti suatu sore. Ibu Teti sedang pergi ke arisan ibu-ibu kompleks. Ustazah Raudah sementara itu mencari-cari Alif karena jam kursus sudah mulai tapi remaja mesum itu tak kelihatan. Akhirnya sampailah dia di kolam renang dan menemukannya sedang duduk bersantai di pinggir kolam dengan hanya mengenakan celana kolor.

“Alif,” panggilnya sambil menghampiri.

“Lonteku,” balas Alif.

“Apa?” Ustazah Raudah mengerutkan keningnya.

“Ustazahku.” Balas Alif sambil senyum-senyum menggoda.

“Dasar.” Mau tak mau ustazah raudah tersenyum. Dia menepuk bahu Alif. Ketika itulah tanpa diduganya Alif menariknya ke kolam. Byurrrrrrrrr. Sekujur tubuhnya pun basah kuyup. Tubuhnya erat dipeluk Alif yang masih tersenyum-senyum.

Karena basah, tubuh ustazah raudah yang dibalut mukena sutera kemudian menjadi melekat dan dia tidak mengenakan apapun di baliknya. Dinginnya air kolam membuat puting susu ustazah raudah mencuat dan dadanya perlahan mengeras. Melihat pemandangan itu, mau tak mau penis Alif menegang. Tangannya kemudian menarik tangan ustazah raudah ke arah penisnya, kemudian mengocok-kocokkannya pelan.

Ustazah raudah mengerti. Dia langsung menggerak-gerakkan tangannya sementara bibirnya menyambut mesra bibir Alif yang melumatnya dengan liar. Air kolam renang berkecipak ketika mereka begerak makin ke pinggi kolam renang. Kemudian Alif mengangkat tubuh ustazah raudah ke tangga. Sampai di sana, Alif menarik tubuh ustazah raudah membelakanginya. Refleks tangan ustazah raudah menggapai pegangan tangga atasnya, membungkuk.

“Ahhhhhhhhhh,” begitu dia mendesah merasakan penis Alif mendadak menerobos memeknya dari belakang. “Alifff, ahhhh, kontolmu nakallll, ahhhh,” satu hal yang sangat disukai Alif adalah ustazah raudah sangat suka meracau saat bersenggama dan itu membuat birahinya makin terpacu.

Mereka beberapa kali melakukan persetubuhan serupa. Ibu Teti sama sekali tak menyadari apa yang terjadi sebenarnya antara kedua insan itu dalam rumahnya. Selain karena sibuk sering pergi dari rumah, Ustazah Raudah dan Alif juga memang pandai menutupi rahasia mereka berdua.

Di waktu yang lain pernah Alif tiba-tiba masuk ke kamar ustazah raudah dan menyodorkan sesuatu. Saat itu habis magrib. Ibu Teti kebetulan sedang mengikuti buka bersama dengan ibu-ibu pengajian dan akan langsung melanjutkan tarawih di sana.

“Apa ini?” tanya ustazah Raudah yang saat itu sedang asyik membaca buku “Ukhti Muslimah dan Kenikmatan Surga”.

“Hadiah buat ukhtiku,” jawab Alif. Tangannya nakal mencolek buah dada ustazah raudah.

Ustazah raudah menggelinjang. Dengan penuh rasa penasaran dia membuka bungkusan itu. Ternyata Alif membelikannya rok pendek berempel seperti yang sering dipakai oleh girlband. Dia kemudian menoleh ke arah Alif meminta penjelasan.

Alif berbisik di telinga ustazah Raudah. “Aku ingin ustazahku pakai ini setiap kali nenek sedang tidak di rumah. Ayo dicoba.”

Ustazah Raudah membeliakkan matanya. Tapi dia menurut juga. Ketika dia akan langsung memakainya di balik mukena yang dia kenakan. Alif mengangkat tangannya. “No, no, bukan begitu maksudku. Ini tidak cocok dikombinasikan dengan mukena, lonte. Coba ustazah kombinasikan dengan jilbab lebar cream kesukaan ustazah.”

Kembali ustazah raudah menurut. Dia membuka mukenanya kemudian memakai rok itu tanpa mengenakan celana dalam. Kemudian sesuai permintaan Alif dia melepas behanya juga dan mematut-matut dirinya menggunakan kerudung lebar. Setelah itu dia bercermin.

Tampaklah di cermin itu pemandangan yang sangat menggairahkan. Seorang ustazah berjilbab lebar sepinggang tidak mengenakan apapun di bagian bawah tubuhnya selain rok pendek. Buah dadanya yang besar menggantung indah dengan puting yang menarik mulut untuk menghisap dan melumatnya. Ustazah Raudah kemudian memutar tubuhnya dengan gerakan seperti seorang model, menghadap ke arah Alif yang menatapnya tanpa berkedip. Alif membuka celananya. Penisnya bergerak menegang dengan cepat.

“Tuhh, kok selalu semangat ya meski bulan puasa,” seloroh ustazah Raudah sambil menunjuk penis itu.

“Umi, keluar yuk.” Suara Alif bergetar menahan gairah.

“Ke luar? Hey, kalau ketahuan orang gimana?” Ustazah Raudah mengerutkan keningnya.

“Gak apa-apa.” Alif menarik tangan Ustazah Raudah. Meski sedikit segan, Ustazah Raudah mengikuti. Di lantai bawah, Alif menyambar high heels koleksi Ibu Teti yang sudah tak pernah dipakai kemudian menyuruh ustazah raudah untuk memakainya.

“Aneh-aneh saja,” komentar Ustazah Raudah. Tapi dia memakainya juga.

Angin malam menerpa puting susu ustazah raudah saat mereka sudah di luar. Sedikit kedinginan, ustazah raudah merapikan jilbabnya sambil mengamati sekitar juga siapa tahu ada orang yang memperhatikan. Untunglah tak ada. lampur-lampu jalan sudah menyala. Temaram. Indah.

Alif ternyata membawa ustazah raudah ke bawah pohon rambutan. Sampai di sana dia menyuruh ustazah raudah memegang batang pohon itu dan dengan kasar menyingkap rok pendek itu kemudian mengusap-usap kemaluan dan belahan pantat ustazah raudah. Setelah itu, ustazah raudah merasakan sesuatu yang hangat menekan-nekan lubang memeknya dari belakang, dan...

“Ahhhh,” dia mendesah merasakan kontol Alif memasuki memeknya, “Ah ah ah ahhh, ahhhhhhh” desahannya berkepanjangan saat Alif dengan kasarnya memaju mundurnya tubuhnya. Buah dadanya bergoyang seirama sodokan-sodokan itu. Sesekali tangannya harus membenahi jilbabnya yang jatuh ke pinggir akibat gerakan yang tak beraturan yang dilakukan mereka. Dari tempat mereka melakukan doggy itu nampak jalan raya dari balik teralis. Cahaya-cahaya lampu mobil dan motor melintas, sesekali ada juga suara penjual bajigur lewat. Ustazah Raudah merasakan sensasi tersendiri antara merasa takut ketahuan dan kenikmatan yang dia rasakan. Kadang-kadang dia rasakan tangan Alif meremas-remas payudaranya dari belakang. Kadang dia lentikkan punggungnya ketika dia rasakan lidah remaja itu melintasi garis punggungnya dari atas ke bawah.

“Beruntunglah Ibu Teti langsung tarawih,” begitu pikirnya di sela kenikmatan yang mendera. “Jadi kami punya waktu yang banyak.” Semakin lama Alif memang semakin berpengalaman mengatur ritme dan dia juga semakin lama orgasme. Biasanya Ustazah Raudah mencapai puncak duluan.
Persetubuhan semacam itu pun mereka lakukan berkali-kali. Biasanya sebelum memulainya mereka membuat es teh dan menyimpannya di gazebo dekat pohon rambutan itu. Kemudian setelah selesai, mereka akan melepas lelah sambil duduk-duduk berpelukan dan saling bercanda di sana. Alif biasanya hanya memakai kaus, sementara Ustazah Raudah memakai rok pendek hadiah dari Alif itu, kerudung lebar, dan high heels yang setelahnya sengaja dibelikan oleh Alif untuk ustazah Raudah tanpa sepengetahuan Ibu Teti dan dipakai hanya khusus dalam “acara privat” mereka berdua itu. Sesekali alif dengan nakalnya kembali mempermainkan buah dada ustazah raudah kemudian ustazah raudah akan membalas dengan melumat atau mengocok penis Alif. Kadang setelah itu mereka kembali mengulangi persetubuhan di bawah pohon rambutan itu kedua kalinya, dengan lebih liar, dan lebih nikmat, kadang juga di gazebo itu dengan posisi WOT kesukaan Ustazah Raudah.

Tanggal 28 ramadhan baru ustazah Aminah pulang ke rumah bersama dengan ustaz Karim. Rumah pun mulai ramai, dan waktu berduaan antara Ustazah Raudah dengan Alif semakin sedikit. Mereka hanya bisa mencuri-curi waktu lewat malam hari, itu pun mesti dilakukan sesepi mungkin supaya tidak ketahuan. Meski demikian, semakin menegangkan justru semakin sensasinya tertanam erat di hati Ustazah Raudah sebagai pengalaman yang sangat mengesankan.

Tanggal 10 syawal mereka bertiga pulang ke asrama syahamah dengan menggunakan mobil. Ustaz Karim memang terbiasa membawa mobilnya sendiri sebagai sopir. Ustazah Aminah sangat bahagia karena selepas kursus sebulan itu Alif Nampak benar menguasai Bahasa Inggris. “Berkah bulan ramadhan, mi,” kata Alif, “dan berkat Ustazah yang sangat telaten mengajari Alif banyak hal.” Matanya mengerling ke arah Ustazah Raudah yang hanya menundukkan kepala menyembunyikan pipinya yang mendadak terasa panas.

Tapi dasar Alif nakal. Remaja itu masih sempat-sempatnya membisikkan kalimat perpisahan saat dia membantu memasukkan barang bawaan ustazah raudah ke bagian belakang mobil. “Jaga memekmu ustazah sayang.” Kemudian satu gerayangan singkat di dada yang menonjol itu saat ustazah aminah sedang menunduk memasang safety belt di jok depan dan Ustaz Karim masih mengambil dua jilid buku yang ketinggalan di kamar.

Ustazah Raudah sedikit menggelinjang. Semenjak merasakan kenikmatan persetubuhan dengan Alif dia jarang-jarang lagi memakai beha dan celana dalam. Entah kenapa dia suka merasakan debar-debar antara takut ketahuan ataupun merasakan orang terpesona dengan kemolekan tubuhnya. Kemudian Alif menutup pintu mobil dan mengucapkan kata perpisahan pada ibunya.

Ting tongg, kenangan gairah setahun silam Ustazah Raudah diputus oleh bunyi hpnya. Balasan Alif muncul di BBM: “Oke, ustazahku sayang.” Ditambahi dengan emotikon cium. Ustazah Raudah tersenyum. Matanya melirik ke high heels yang tergeletak di atas lemari pakaiannya.

Pada saat yang sama, di kamar samping kamar interogasi, Ustaz Karim baru saja keluar dari kamar mandinya, hanya mengenakan handuk. Penisnya teracung tegak saat melihat Ustazah Aminah sedang membungkuk memasukkan potongan bagian bawah mukena sutera warna hitam ke tubuhnya, sementara bagian atas tubuhnya polos bugil, menampakkan buah dadanya yang bulat membusung, menggantung seperti semangka. 

BERSAMBUNG

Untuk membaca lanjutannya, silahkan lihat daftar lengkap cerita "Dibalik Kerudungnya Yang Lebar" disini:

Dibalik Kerudungnya Yang Lebar The Series <-- klik untuk melihat.

Cerbung Hijab diatas merupakan hasil karya dari pecinta umahat selaku pengarang aslinya. Foto yang digunakan di dalam cerita ini hanyalah ilustrasi belaka untuk mempermudah pembaca dalam meresapi jalan cerita yang ada.
loading...

Klik tuk Kirim Pesan