Aku Nafsu Pada Adik Kandungku (Bagian 8)

Cerbung Terbaru Cerita Panas berjudul Aku Nafsu Pada Adik Kandungku (Bagian 8) ini mengisahkan tentang hubungan sesama saudara yang dilakukan oleh sepasang kakak adek, tapi kisahnya agak melenceng kali ini karena si tokoh utama sedang disibukkan dengan cewek lain. Penasaran? Yuk baca aja cerita stensil ini.
Cerbung Terbaru Cerita Panas
Cerbung Terbaru Cerita Panas
Perlu diketahui, cerita ini merupakan lanjutan dari episode yang sudah terbit sebelumnya. Silahkan baca-baca dulu chapter yang sebelumnya agar Anda tidak bingung.


Untuk membaca cerita lengkapnya, silahkan lihat daftar episode cerita  Aku Nafsu Pada Adik Kandungku disini:

Aku Nafsu Pada Adik Kandungku The Series <-- klik untuk melihat.

***
Kalau boleh jujur aku adalah orang yg tak terlalu suka dengan keramaian, aku bisa saja menggunakan alasan apapun untuk menghindari keramaian kalau alasan keramaian tersebut tidak penting buatku. Bahkan bila aku terpaksa ikut hadir ditengah keramaian maka aku akan mencari alasan atau melakukan apapun untuk menyingkir saat semua larut dalam keramaian tersebut. Aku lebih suka menyendiri, malah kadang aku bisa saja asik dalam kesendirianku. Tapi bukan berarti menjadikan aku orang yg sulit bergaul, baik d sekolah, rumah, kampus hingga kantor, orang-orang mengenalku sbg Arman yg supel & menyenangkan, mereka selalu bilang aku orangnya enak diajak ngobrol, bercanda bahkan gila-gilaan sekalipun. Berbeda 180 derajat dgn Hana, adikku satu-satunya ini tumbuh menjadi pribadi tertutup, cukup pendiam & tidak suka yg aneh-aneh.

Ibu ku pernah cerita perbedaan kami sejak kecil, dulu aku anak yg hyperaktif, berlari kesana kemari tak karuan, & tak pernah menolak digendong siapapun, sedang adikku selalu nyaman dalam gendongan ibu atau ayahku, dia pasti menangis ketakutan kalau digendong selain orangtua ku, bahkan pada kakek nenek, serta saudara2 kami adikku menolak. Pribadi adikku yg sangat kalem & pendiam ini membuatnya tak terlalu memilik banyak teman, bukan tidak punya tapi tidak sebanyak temanku tentu. Sejak dia kecil yg ku tau hanya dua sahabat dekat yg dia punya, Silvi & Metta, mereka tetangga kami satu RW berbeda RT. Tetapi dibalik sifat eksklusif & pendiamnya, adikku tumbuh menjadi anak yg sopan, santun, & membuat siapapun yg dekat dengannya pasti merasa segan dgn kepribadiannya, namun sayangnya aku harus mengakui bagi para pria kepribadian adikku ini menimbulkan rasa penasaran & rasa ingin tahu lebih jauh untuk memilikinya, ada hasrat untuk menggali lebih dalam tentangnya. Seandainya aku belum jatuh cinta pada keindahan tubuhnya, aku sendiri bingung disebelah mana daya tarik seperti tadi bisa muncul dari adikku ini. Mungkin suhu bisa menjelaskannya?

Aku merasakan belaian tangan pada pipiku sebelum akhirnya sebuah kecupan mendarat dibibirku. “Bangun mas, kata ibu temenin ke rumah Bu Vera” bisik adikku lembut ditelinga kiriku. Perlahan mataku terbuka, yg kulihat hanyalah punggung adikku yg berlalu dari pintu kamarku yg sudah terbuka, pasti ibuku menyuruhku membangukanku, jam menunjukan pukul setengah Sembilan pagi saat kulihat ponsel ku, semalam sepertinya aku lupa mengunci pintu kamarku, jadi pantas saja kecupan Hana tadi hanya sesaat, Sial!! kataku. Pagi ini aku memang berjanji pada ibuku untuk mengantarkannya ke rekanan bisnis butik beliau, bu Vera namanya.

Beliau adalah teman lama ibuku, semenjak ibu pindah k kota ini karena pernikahannya dgn ayah, bu Vera adalah orang yg banyak membantu ibu beradaptasi karena rumahnya tidak jauh dgn rumah kami. Namun semenjak bisnis baju muslimnya maju pesat, bu Vera sekeluarga pindah ke kawasan perumahan yg cukup elit dikota kami, itu terjadi waktu aku kelas satu SMP. Suami bu Vera sendiri adalah seorang anggota Polisi, Om Deden namanya, dan memiliki tiga orang anak, Hendi, Yunda perempuan satu-satunya, & Genta. Hendi & Yunda berbeda tiga tahun, Yunda lebih tua setahun dariku namun seangkatan dlm jenjang pendidikan, & Genta berbeda tujuh tahun dari Yunda. Aku cukup kenal mereka bertiga, selain karena dulu rumah kami berdekatan, waktu SMP aku & Hana cukup sering diajak ibu mampir ke rumah bu Vera. Tapi semenjak SMA aku mulai malas mengantar ibuku kemana-mana, hingga komunikasi ku benar-benar putus dgn keluarga beliau saat kuliah, jadi pagi ini adalah pertemuan kami lagi setelah sekitar delapan tahun. Lama juga ya. Hehehehe

“Ar, buruan kamu mandi, tuh Hana udah bikinin nasi goreng buat kamu sarapan. Ibu udah janji loh sama bu Vera, jgn kamu bikin telat” ibu sedikit membentakku yg masih melamun d atas kasur. “iya, sabar lah, rumah bu vera jg gak akan kemana-mana kok” kataku sedikit kesal dipaksa bangun. Ya, saat ini masih suasana libur lebaran, jadi aku sebenarnya ingin bebas bersantai ria dirumah.

“Mas!! Kok kamu pake kaos gitu?!! Ganti ah, pake kemeja kek!!” dengus ibuku ketika aku keluar kamar, “loh kenapa emangnya?” aku bertanya bingung.

“pokoknya gak, jangan pake kaos, dandan yg rapih!!” perintah ibuku dengan penuh kuasa.

“kita ini mau kondangan emang bu? Cuman maen toh?” aku coba membantah

“udah kamu dengerin omongan orang tua knp sih?!! Ganti baju sekarang sana!!!”

“emang kita disana mau ngapain sih bu? Nyambut pejabat?”

“susah amat sih kamu d atur Ar jadi anak, udah sana ganti baju!!!”

“hadeeeeh” aku mengeluh dalam hati, “apaan sih nih emak-emak, mau maen aja pake baju rapih2 segala” sungutku dalam hati, agak dongkol juga dgn perintahnya, terpaksa aku mengalah & kembali k kamar.


Perjalanan dari rumahku ke rumah bu vera sekitar setengah jam, aku menyetir mobil Inova ayahku dengan santai, sejujurnya aku masih agak ngantuk walau sudah kuseduh kopi sebelum berangkat tadi, yah hari libur seperti ini dipaksa bangun pagi, mata ku juga sadar bahwa tidur adalah kenikmatan yg luar biasa. Lalu lintas kota ku tidak semacet biasa karena masih suasana libur lebaran, jd aku tak perlu terburu-buru. Tak terasa sampailah kami di perumahan tempat bu Vera tinggal, komplek perumahan ini cukup nyaman asri, masih banyak tanah lapang namun tidak gersang karena banyak pepohonan, untung juga cuaca saat itu mendung-mendung sejuk.

Ibuku memencet bell rumah bu Vera, tak berapa lama sesosok wanita yg rambutnya ikal panjang dicat pirang, berkulit kuning langsat, mengenakan baju kaos lengan panjang warna merah marun serta celana jeans selutut menyambut kami ramah, lalu mempersilahkan kami masuk, tak perlu waktu lama buatku mengenalinya, meski terlihat lebih gemuk dari terakhir aku melihatnya, dia pasti bu Vera.

Aku hanya tersenyum melihat Ibu menyambut pelukan hangat bu Vera lalu bercipika-cipiki khas ibu-ibu, setelah aku mencium tangannya kami melangkah masuk.

“eeh arman udah besar yah sekarang, udah jd bujangan, gagah. Padahal dulu kurus loh” seloroh bu Vera melihat perubahan pada fisikku. “iya bu, ada perbaikan gizi dari yg dulu. Hehehehe” jawabku sambil bercanda.

Memang ketika SMP saat terakhir kali aku bermain ke rumahnya, aku bertubuh ceking tinggi, sekarang aku tubuhku cukup ideal, tidak atletis, tetapi tinggi & berisi, jadi wajar bu Vera cukup kaget melihat perubahan fisikku.

Setelelah mempersilahkan kami duduk disofa aku sempat memperhatikan keadaan rumah bu Vera, ada banyak sekali perubahan dibanding terakhir kali aku kesini. Dulu dihalaman rumahnya bu Vera memiliki seekor monyet, kandang burung besar yg isinya seekor elang, & kolam ikan, aku & Hana senang sekali memperhatikan hewan2 itu dulu karena ibu kami melarang kami memelihara binatang. Sekarang halaman tersebut hanya ada tanaman-tanaman hias yg rindang & menyejukan. Lalu keadaan dalam rumahnya juga banyak berubah, aku ingat catnya dulu berwarna krem terang, kini berwarna biru muda yg lucu & enak dipandang mata.

“Mana anak-anak sm Deden Ver?” kata ibu ku membuka obrolan

“Yunda sm Genta sih ada tuh d kamar, tapi kalo Hendi dia gak pulang masih ditengah laut” jawab bu vera. Kalo aa Deden dia lagi main tenis sm bapak2 komplek”

“kerja dimana kak Hendi bu?” aku bertanya penasaran

“naah ini, sombong sih jarang main kesini, jd gak tau apa-apa. Hehehe.. Hendi kerja dipengeboran minyak lepas pantai Ar, jadi pulangnya sekitar tiga bulan sekali.”

“oooh gitu” aku mengangguk mengerti “padahal sy pengen ketemu kak Hendi, udah lama ga ngobrol bareng. Hehe”

“eh mau pada minum apa? Ada sirup markisa dr Makasar mau? Kemaren om Deden bawa”

“apa ajalah Ver” jawab ibuku

“Ndaaaaaa, naaak bikinin sirup markisa nya sih tolong dua, sekalian panggilin Genta d kamar, ini loh ada bu Ida, masa kamu ga salam” Ida nama (samaran) ibuku.

“iyaaaaa maaah” teriak suara dari kamar. Aku dapat mengenali suara ini, Yunda, aku sedikit penasaran bagaimana rupa Yunda & Genta yg sekarang, pasti banyak berubah pikirku, sebenarnya aku kangen juga bercanda bareng mereka lagi seperti dulu. Biasanya aku bermain PS bareng Kak Hendi & Genta, sedang Hana & Yunda bermain Barbie bersama. Masa kecil yg benar-benar indah, aku senyum2 sendiri mengingatnya.

Tak berapa lama Yunda keluar dari ruang tengah, menyajikan dua gelas sirup berwarna kuning, terlihat menyegarkan buat ku, Genta mengikuti dibelakang kakaknya. Melihat Yunda yg sekarang membuatku agak terbelalak, dia terlihat jauh lebih manis dari terakhir kali aku melihatnya, kebetulan aku, adikku, & Yunda pernah satu SMP, & Yunda saat itu adalah cewek yg sejujurnya tidak menarik sama sekali, bertubuh kurus terbungkus kulit putihnya, badannya pendek kecil, apalagi sifatnya yg cerewet & galak, benar-benar bukan cewek yg menarik waktu itu. Kami tak pernah sekelas, & saat dirumahnya dulu pun kami tak sering saling bicara karena asik dengan mainan kami masing-masing.

Tapi Yunda yg kulihat sekarang adalah Yunda yg berbeda, kalau dulu dia kurus, sekarang tubuhnya padat berisi, pantat yg sintal terbungkus celana rumahan panjang, pipi chubby dalam balutan jilbab kuning yg panjangnya menutupi kedua payudara yg sekilas aku yakin ukurannya sama dgn Hana adikku, kulitnya kuning langsat seperti ibunya serta paras yg harus ku akui lebih mempesona dari Hana. Bila aku menilai adikku enam atau tujuh, maka untuk Yunda aku berani memberi nilai delapan, dia sungguh-sungguh berubah drastis dari terakhir kali aku melihatnya.

Sedang Genta masih kurus seperti dulu, tapi dia sudah hampir setinggi aku. kalau Yunda berwajah ibunya, maka Genta adalah duplikat sempurna om Deden, tapi aku melihat dia masih agak baby face, wajahnya tak banyak berubah dari saat kami kecil dulu, apa karena dia anak bungsu ya. Bu Vera pun mengajak mereka berdua duduk diruang tamu bersama kami.

“ka Arman, apa kabar? Udah lama gak ketemu ya?” Genta tersenyum menyapa sambil menyalamiku “Baik Ta, wah kamu udah jd mahasiswa ya sekarang, kuliah dimana?” aku bertanya sambil balas menyalaminya “di jogja kak, sy ngambil teknik mesin” balas Genta.

“ooh, keren banget” kataku sambil mengangkat jempolku, sebelum aku mengalihkan pandanganku ke Yunda, dia mengangguk padaku sambil tersenyum, aku jadi kikuk sendiri, dulu kami sudah jarang bicara, sekarang harus mencari obrolan yg mencairkan kekakuan kami.

“eekhmm… kalo kabar lu gmn Nda? Udah gawe dmn skrg?” aku memulai obrolan.

“sehat gw Ar” dia membalasku sambil tersenyum, tapi matanya menatap ke serbet meja tamu sambil memainkan jari-jari tangannya sendiri, “sekarang gawe d Bank gw”. 
Yunda memang membalas pertanyaanku, tapi aku menangkap nada canggung dari kata-katanya, bahkan terlihat agak enggan berada disitu.

“Lu kuliah dimana sih Nda? Kan kita udah lama banget ga ketemu nih. Hehehe” aku bertanya lagi dgn nada serenyah mungkin, berharap Yunda bisa mencairkan dirinya
“gw kuliah di jogja jg Ar, sama kaya Genta” masih dgn nada yg kaku. Yang membuat aku bingung adalah gelagat ibuku & bu Vera yg hanya memperhatikan kami tanpa mencoba membantuku mencairkan suasana, bukankah harusnya ibu-ibu ikut nimbrung kalau memperkenalkan anak masing-masing yg sudah lama tak bertemu?

Walau sebenarnya aku masih bertanya-tanya ada apa dgn Yunda yg kupikir dia sedang dilanda masalah personal, ditambah gelagat aneh dari ibu serta bu Vera, aku mencoba keluar dari suasana ini dgn bertanya konsol game apa yg Genta punya lalu mencoba mengajaknya main bareng seperti dulu, dgn demikian aku bisa membiarkan ibu & bu vera ngobrol ngalor ngidul, serta Yunda bs balik kekamarnya hingga menyelamatkan kami dari kecanggungan tadi. Namun semuanya tak berjalan sesuai keinginanku, ketika aku bertanya pada Genta dia hanya nyengir sambil menjawab “eeee, sebenernya aku pingin sih ngajak ka Arman main, tapi sorry kak, aku mau pergi, udah janji sama temen2 aku”

Aku jadi lemas menerima jawaban Genta, “ooh gitu, yaah sayang banget, padahal udah kangen kita maen game kaya dulu sama ka Hendi. Hehehehehe” aku mencoba senyum walau tak bisa kusembunyikan kekecewaanku. Tak berapa lama Genta pun minta diri, meninggalkan aku, ibu, Bu vera serta Yunda.

Selepas kepergian Genta, bu Vera langsung mengusir aku & Yunda, serta meminta Yunda menemaniku ngobrol dihalaman belakang “Nda, kamu ajak Arman ngobrol dulu sana, mamah sm tante Ida ada yg mau diobrolin, penting! Sanah!!” nada bicara perintah penuh kuasa mirip seperti ibuku.

Waduuh!! Apa mereka tidak menangkap rasa canggung d antara aku & Yunda? Lagipula aku bingung, Yunda yg aku kenal dulu adalah cewek cerewet & banyak bicara, knp sekarang dia jd wanita kaku begini? Aku tak habis pikir sama sekali, yah minimal kalau aku ajak bicara dia menjawab dengan nada yg ramah kek.

Dengan malas, Yunda berdiri menuju ke halaman belakang, aku masih terpaku pada tempatku, benar-benar enggan untuk bangkit, sebelum di usir paksa oleh ibuku

“udah Ar sana sama Yunda dulu, ibu kan mau ngobrol penting sama bu Vera”

“Ar disini aja deh, malu lah ngobrol berduaan doang sama cewek Bu” aku mencoba menolak

“loooh knp harus malu Ar, dia kan temen kamu jg dulu, kalian udah lama kenal pula, kan bisa ngobrolin waktu kalian kecil dulu. Hehehe.. udah sana Ar, bawa aja minumnya, ada gazebo kok disana, kamu bisa santai” kali ini bu Vera yg memaksaku..

Sambil kuraih sirup markisa ku, aku melangkah gontai ke halaman belakang, Yunda sudah duduk ditepi gazebo, walau dari jauh dapat kulihat wajahnya dingin, bahkan aku berani bilang dia terlihat nerveus, yaah aku sepertinya bisa paham sih, ngobrol berdua dgn orang yg belum klop, siapa yg tidak begitu.

Halaman belakang bu Vera juga jauh berbeda dari waktu aku kecil, dulu pagarnya bambu, halamannya tanah lapang yg sering dijadikan tempat main bola anak-anak diperumahan ini. Namun sekarang pagar tembok tinggi, dipenuhi rumput serta dua pohon palem, & sebatang pohon mangga yg rindang. Aku bahkan sempat melihat beberapa kelinci abu-abu melompat-lompat dihalaman belakang ini, pasti punya Yunda pikirku.

Aku menyusul Yunda, ikut duduk ditepi gazebo. “waah lapangan bola nya udah di gusur ya Nda? Jadi enak gini sekarang” kataku memulai obrolan, masih mencoba mencairkan suasana

“iya Ar, papaku yg ngerubahnya” Jawabnya singkat, mata Yunda menatap langit. Aku benar-benar benci keadaan ini, & kalau sudah begini aku lebih suka to the point, jadi aku mencoba jujur.

“dari td waktu diruang tamu gw liat lu aneh Nda, sorry ya lu kaya males nemuin gw sama nyokap gw. Senyum lu kecut banget tadi pas disana. Lu kenapa sih Nda? Ada masalah?”

Bukannya menjawab Yunda malah menatapku tajam “Jadi maksud lu, lu setuju sama rencana nyokap-nyokap kita Ar?” kali ini dia berbicara serius, tapi nadanya tetap tenang.

“rencana? Maksud lu apa Nda? Gak ngerti gw”

“jadi nyokap lu belum cerita sama lu Ar?”

“belum, tentang apaan sih emang? Apa tentang bisnis mereka berdua mau disatuin terus lu jadi direktur terus gw wakilnya? Yah gw sih gak masalah kok. Hehehe” kataku masih sempat bercanda, namun yg kudapat malah tatapan mencela dari Yunda, mau tak mau senyum ku hilang.

Yunda menarik nafas panjang, sebelum dia berdiri, lalu kembali menatapku yg masih duduk d gazebo
“jadi emang lu belum tahu yah Ar…” katanya sambil mengangkat seekor kelinci yg ternyata ada dibawah kaki gazebo sejak tadi,lalu menggendong & membelai-belainya.

“Nyokap kita… mau ngejodohin kita Ar”

Aku merasa jantungku mencelos, seperti lepas dari tempatnya begitu mendengar kata-kata Yunda. Aku hanya bisa melongo, mulutku ternganga, otakku seperti mengalami “hang” sesaat, aku belum bisa mencerna perkataan Yunda walau mendengarnya dengan jelas.

“maksud lu apaan Nda? Dijodohin? Gw sama elu?” aku tidak percaya, Yunda hanya mengangguk pelan sambil tetap menggendong kelinci abu-abunya.
“seriusan lu Nda? Kok bisa, kok nyokap gw ga ngomong dulu sama gw?!” nadaku mulai meninggi, Yunda hanya bisa membuang napas dari mulutnya sambil menatapku malas.
“gw yakin lu denger kata-kata gw Ar, gw ga perlu ngulang kan? Yang jelasnya mending lu Tanya nyokap lu nanti. Gw ga bisa jawab”

“berarti nyokap lu udah cerita ke elu kan? Terus kenapa bisa? Apa alesannya? Plis Nda, ceritain ke gw, gw butuh penjelasan nih!” aku menyerocos tak sabaran, wajar saja, saat itu perasaan ku sungguh campur aduk tak karuan. Yunda kembali duduk disebelahku setelah melepas kelincinya, lalu dia kembali menatapku namun kali ini sorot matanya lebih rileks,
“mending lu minum dulu Ar, gw udah bikinin buat diminum, bukan buat di anggurin” aku pun mencoba tenang, kutarik nafasku, sebelum meraih sirup markisa suguhan Yunda, seteguk dua teguk, tenggorokan ku terasa lebih segar, akupun merasa lebih tenang, Yunda yg memperhatikanku pun menangkap kalau aku sudah lebih siap mendengar penjelasannya,
“gw jg kaget banget pas nyokap bilang mau ngejodohin gw sama elu, gw sempet kesel, sempet gw bilang kalo ini bukan jamannya jodoh-jodohin lagi, tapi nyokap ngotot, alesannya simpel karena gw cewek, & dia gak mau ngeliat gw lama-lama jd perawan, dia pengen gw langsung nikah & dia gak mau liat gw lama-lama pacaran. Tapi gw masih ngotot, ini soal masa depan gw & nyokap ga berhak ngatur hidup gw, & lu tau gmn reaksi nyokap gw pas gw bantah, dia langsung kalap, yah gw dikata-katain anak durhaka lah, anak gak tau d untung lah sambil nangis2 kaya orang kesurupan.. huuuffhh.. ngeliat nyokap gw kaya gitu siapa sih yg gak takut, yah beginilah susahnya punya nyokap seenak jidatnya sendiri..” Yunda bercerita panjang lebar, aku lihat matanya mulai berkaca-kaca, namun aku masih sangat penasaran.

“terus bokap lu sepakat sama rencana nyokap lu?”
“bokap sih kaget juga, tapi doi paham tabiat nyokap yg suka seenaknya. Bokap sih bilangnya diikutin dulu aja kemauan nyokap jgn dibantah, kalo nanti gw gak bisa nemu kecocokan juga pasti mamah ngerti kata bokap, dia Cuma pengen kamu cepet nikah, maksudnya baik, gitu sih kata bokap. Yaaa, gw bisa apa kalo udah kaya gitu”

Aku diam, membayangkan betapa otoriternya ibuku dibandingkan bu vera, ibu ku masih jauh lebih baik, tak pernah beliau memaksakan kehendaknya mengenai masa depan anak-anaknya. Dulu waktu aku & Hana mulai kuliah, ibuku tak pernah memaksa aku harus masuk jurusan apa, atau kuliah dimana, ibu hanya mendukung kelanjutan jenjang pendidikan kami. Masalah pribadi seperti pacar, teman dll pun ibu tak pernah ikut campur, katanya yg penting aku bisa jaga diri & menjaga nama keluarga itu sudah cukup. Tapi bagaimana dgn perjodohan ini? Ibuku belum bilang apapun padaku, apa jangan-jangan beliau pun ragu aku akan menerima ini jd dia tak mau membuatku berontak dulu, yang penting aku dibawa kesini dulu, pikirku.
Berjuta pikiran menggelayut dalam benakku, namun lamunan ku dibuyarkan oleh Yunda yg menawarkan ku setoples kacang goreng yg sering disuguhkan saat lebaran, “dibuka aja Ar kacangnya” aku tak menjawab, aku masih terlalu bingung saat itu,
“terus gw.. euhh!! Maksudnya terus sekarang kita harus gimana Nda?”
“kalo elu gak suka & gak mau lu tinggal bilang skrg terus gw kasih tau nyokap kalo lu gak mau, kita selesai, beres..” Yunda menjawab enteng, aku melongo “kalo menurut lu pribadi gmn?” aku bertanya lagi. “gw ikut nasehat bokap gw, jalanin dulu” kali ini mukanya memerah..
Jalanin dulu? Maksudnya kalau aku belum menolak, aku & Yunda akan mengalami masa-masa pedekate yg d awasi keluarga masing2 begitu? Menyebalkan sekali, Kataku dalam hati. Lalu apa aku harus langsung menolak saja perjodohan ini, bukankah ini akan mempercepat kepastian antara kami aku & Yunda? Tapi tunggu dulu, hati kecilku kini yg bicara, apakah Yunda adalah wanita yg buruk untuk dijodohkan denganku. Kali ini aku mencoba menatap wajah Yunda, wajahnya yg cantik & chubby, tubuhnya yg tinggi padat berisi, dgn penampilannya saja siapa pria yg cukup bodoh menolak dijodohkan dengannya, walau aku tau dulu dia hanya cewek cerewet, tapi dalam pertemuan ini entah kenapa aku yakin dia sudah jauh berubah, entah kenapa. Ditambah lagi otaknya yg sangat encer, ya sejak SD Yunda adalah langganan peserta lomba cerdas cermat yg sering mengharumkan nama sekolah, harus ku akui dia selevel adikku dalam hal kepandaian akademis, bahkan kalau aku tak salah ingat tak kurang dari tiga kali Hana & Yunda menjadi tim inti mewakili SMP untuk perlombaan ilmiah, dari tingkat provinsi hingga nasional, mereka tak pernah absen menyumbang piala & selalu menyabet penghargaan dari sekolah.

Tiba-tiba aku teringat adikku tersayang Hana, hatiku merana, apalagi mengingat permainan-permainan tabu yg telah aku lakukan dengannya, aku tak bisa membohongi diri kalau aku atau mungkin kami berdua telah larut dalam kenikmatan abnormal tersebut. Apa reaksi Hana andai tau aku akan dijodohkan dgn Yunda, atau jangan-jangan dia sudah tau? Ah tidak mungkin, atau kuharap ibu belum cerita padanya.

Namun sekarang aku dihadapkan pada kenyataan ini, Hana & Yunda, dua gadis manis yg memiliki pesona masing-masing kini keduanya ada dihadapanku. Bingung jelas, ooh Hana adikku sayang, andai kita tak memiliki keterikatan darah sbg saudara sekandung tentu aku akan memilih mu, aku telah jatuh hati pada keindahan tubuh serta permainan seksual mu, lebih dari itu kamu gadis yg baik, sopan, cerdas, namun kuat, dan punya kapabilitas menjadi ibu serta istri yg baik, asal suhu tau Hana adalah pemasak yg handal, apalagi oseng-oseng rempelo ayam saus tiramnya yg menurut kami sekeluarga hanya Hana satu-satunya di dunia yg bisa memasaknya.

Sedang kalau aku harus mematuhi norma, tenta Yunda adalah pilihan terbaik, kendati aku belum 100% mengenalnya setelah perpisahan panjang kami, tapi dari kesan fisik serta latar belakang masa lalunya yg baik tentu tak ada alasan buatku menolaknya. Tapi bukankah ibu kami berdua akan memberi kami waktu untuk saling mengenal? Ah entahlah, aku masih diliputi keraguan.
Aku & Yunda hanya sibuk dalam pikiran masing-masing dalam sisa kebersamaan kami dihalaman belakang, tak sepatah katapun keluar sampai bu Vera memanggil kami untuk makan siang.. “ayooo makan dulu Ar, sy udah delivery pizza h*t nih” ajaknya sambil tersenyum.

“Gmn Yunda Ar, kamu cocok?” ibuku bertanya, kami sudah dalam perjalanan pulang, ada nada ragu dalam pertanyaan ibu. Sebenarnya aku ingin melepaskan kemarahanku pada saat itu juga, namun aku teringat cerita Yunda dgn ibunya, jadi aku mengurungkan kemarahanku walau sudah siap meledak. Aku hanya menghela nafas panjang sambil bertanya

“kok ibu sampe segitunya sih bu? Kenapa ibu gak cerita sama mas biar minimal aku tau gitu?”
Kataku dgn nada setenang mungkin.. ibuku menatap kosong k arah jalanan,
“bu vera yg minta kamu Ar, dia bilang pengen cepet punya mantu trus dia liat kamu udah kerja mapan & menurutnya kamu pas sm Yunda, bu vera sih dicoba dulu siapa tau cocok, kalo enggak ya ga usah. Jadi ibu pikir ga ada salahnya dicoba Ar, lagian ibu jg bingung kamu udah lama jomblo. Coba inget kapan terakhir kali kamu ajak pacar mu k rumah? Kalo gak salah si Novi kan? Itu jg pas kamu SMA” ibuku menghela nafas lalu melanjutkan kata-katanya. Aku tersenyum mengingat Novi, pacarku saat SMA, anak yg periang & manja, lalu tersenyum kecut mengingat alasan kami putus adalah aku yg terlalu sibuk dgn Band ku saat itu, jadwal manggung serta rekaman indie yg membuatku mengabaikan Novi. Selain itu kesibukan ku sbg ketua ekskul futsal & mengorganisir beberapa turnamen jg jd alasan Novi minta putus.
“kamu itu anak pertama Ar, menurut ibu ga usah lama-lama bujangan, langsung nikah aja, ibu jg pengen gendong cucu”

“ibu udah cerita ke ayah atau ke Hana masalah perjodohan ini?” aku menyelidik, tubuhku panas dingin andai benar Hana sudah mengetahui hal ini.
“ibu belum cerita kesiapa-siapa Ar, ibu sengaja, pengennya ibu sih andai nanti kamu cocok sama Yunda, yah kesannya kaya kalian dari pacaran biasa aja” suhu tubuhku normal lagi.
Mendengar penjelasan ibu yg masuk akal aku jd berpikiran sama seperti Yunda, tak ada salahnya dicoba, toh untungnya mereka berdua tdk memaksa harus jadi.
“tapi bener kan bu ini gak dipaksa, maksudku kalo mas sama yunda ga cocok ya batal kan?
“ iya nak, td kan ibu udah bilang kalo ga cocok ya ga dipaksa”
Aku tersenyum tipis, yah walau orang tua kadang egois, tapi mereka masih mengharapkan kebahagiaan anaknya, & aku bersyukur perjodohan ini tak seperti yg aku bayangkan, dimana aku & yunda dipaksa menikah walau tak saling mencintai, ibu kami memberikan waktu pada kami untuk saling memahami terlebih dahulu.
Dengan kemantapan hati, & membuang sedikit keraguan aku menerima tawaran ibu & bu vera, ibuku tersenyum lebar.


“kalo gitu mumpung masih libur lebaran, terus senin kamu mesti balik ke kantor, malem minggu ini kamu ajak Yunda nonton ya Ar”

Selepas maghrib aku berdandan serapih mungkin, hatiku sungguh tak karuan, ini mengingatkanku pada kencan pertama ku saat SMP dulu, apa kabar ya pacar pertamaku Maria? Semoga kamu sehat-sehat disana ya.

Yap, malam ini adalah malam minggu, ibuku & bu vera telah mengatur sedemikian rupa agar aku & Yunda bisa jalan malam ini, jadi aku berdandan sebaik mungkin untuk memberikan kesan yg baik. Padahal perasaanku dengan Yunda sebenarnya belum menentu, aku belum yakin bisa memberikan hatiku untuknya, begitupun sebaliknya, aku belum yakin apakah Yunda akan dapat mencintaiku karena yg ku tau kami menjalani acara malam ini dgn keterpaksaan. Namun aku mencoba sedikit rileks, tak ada salahnya dicoba, begitu batinku berkali-kali dalam hati. Untungnya aku & Yunda langsung bertemu di X*I tanpa harus aku menjemputnya dirumah, aku tak bisa membayangkan betapa canggungnya kami didalam mobil selama perjalanan andai aku harus menjemputnya. Akupun berangkat membawa livina milik ayahku, walau sebenarnya aku lebih suka menerobos malam dgn vario milikku, tapi sekali lagi demi kesan yg baik (atau gengsi) ibuku memaksa ku membawa mobil ayah. Untung saja saat ini Hana sedang taka da dirumah, lagi-lagi dia diminta menemani tanteku ke taman safari bogor untuk membantu anak-anaknya yg hyperaktif. Aku tak bisa bayangkan, alasan apa yg akan kuberikan pada adikku jika dia melihatku berdandan serapih ini dimalam minggu.

Tak sampai 30 menit aku tiba di mall tempat perjanjian aku & yunda, saat ini pukul tujuh kurang, andai membeli tiket sekarang pasti dapat jadwal di midnight. Akupun bergegas menuju lantai tempat sinema berada, di dalam lift aku mengontak nomor Yunda yg dikirim oleh ibuku, sekali duakali dering telpon di angkat “Halo Nda, gw udah di TKP nih, elu dimana?”tanyaku
“gw masih dijalan Ar, sorry ya, bisa gak lu nungguin gw d depan, biar k xx* nya bareng”
Sialan, batinku, aku sudah didalam lift dipaksa turun lagi k lantai satu demi menjemputnya, enak sekali dia, kataku dalam hati. Tapi sekali lagi demi sebuah kesan & aku tak ingin mengecewakan martabat ibuku, terpaksa aku turun lagi. Sampai dipintu masuk mall, aku menunggu Yunda d dekat restoran cepat saji, nampak banyak pasangan muda-mudi berlalu lalang didepanku, wajar saja inikan malam minggu, & aku seperti jomblo idiot yg berdiri sendirian disini menatap hampa kearah mereka, yg kurasakan sekarang adalah pasangan-pasangan itu seperti sedang menertawakan ku, aku memainkan Hp ku untuk menghilangkan tingkah seperti orang bingung. Untungnya penantianku cuma lima menit, karena tak berapa lama ada teriakan suara wanita yg sudah kutunggu-tunggu, “Arr!! Sorry ya lama, taxi nya jalannya kayak keong, sorry banget ya, udah lama nunggu?” akhirnya Yunda datang sambil langsung menodongkan ocehannya.

“gak kok belum lama” kataku dingin, aku sedikit kesa; karena naik turun lift hanya untuk hal seperti ini.. “yaudah kita naik aja langsung yuk” ajakku “okeh!” aku mulai melangkah, & Yunda berjalan disampingku.
Aku sekilas melirik Yunda, walau sedikit kesal padanya, tapi aku tak bisa membohongi betapa cantiknya Yunda malam ini, dia memakai semacam pashmina hitam dgn gamis putih panjang, serta cardigan abu-abu gelap, yg paling aku suka adalah betapa manis pipinya yg chubby dibalut pashmina seperti itu, hatiku jadi agak berdesir juga. Terlebih lagi sebenarnya berjalan bersama Yunda seperti ini cukup membuat pria lain iri padaku, & mata mereka tertawan cukup lama oleh penampilannya.

Benar dugaanku, kami mendapatkan waktu 21.15 untuk nonton. Kulirik jam masih pukul setengah delapan, aku & Yunda pun berunding mencari tempat yg enak untuk menghabiskan waktu, setelah perdebatan sebentar & tentu saja aku mengalah, kami menuju restoran donat untuk sekedar meminum kopi & makan cemilan. Padahal sebenarnya aku lapar, tapi demi mengikuti niat diet Yunda aku terpaksa mengalah, padahal hematku tubuh Yunda sudah sangat ideal, & tidak ada bagian tubuh manapun yg bisa dibilang gendut, itulah wanita, ideal menurut kita berbeda dgn ideal versi mereka. Tapi memang, andai tubuh Yunda seperti Hana adikku, maka dia akan sangat sempurna. Pesanan yg datang membuayarkan lamunan ku.
Saat-saat yg kubenci datang lagi, ternyata aku & Yunda belum bisa menghilangkan kecanggungan kami. Sebenarnya aku bisa saja bersikap cuek dgn mencoba mengajaknya bercanda, tapi aku tak pernah lupa balasan dinginnya saat di gazebo, saat dia menanggapi candaan ku dgn pandangan mencela. Begitupun Yunda, jangankan memulai percakapan, dia seperti sungkan bertatap mata denganku, yah sepertinya perjodohan ini sudah berakhir saat ini juga, aku & Yunda tidak akan cocok. Namun ternyata Yunda lebih berinisiatif membunuh kesunyian ini, dia mulai membuka mulut mengajakku bicara setelah meminum cappuccino nya.
“Ar, apa yg bikin lu mau nyoba ngejalanin rencana ibu kita?”
Walau sedikit kaget dgn pertanyaan Yunda yg to the point ini, tp aku mencoba tenang
“entahlah nda, gw jg gak tau” aku menjawab sejujurnya “sebenernya gw jg bingung harus bersikap apa, yg gw tau gw nyoba ga ngecewain nyokap gw, itu aja mungkin” aku menjelaskan,
“terus, sekarang kita udah ngejalanin kemauan nyokap masing-masing, apa lu udah punya jawaban pasti?” ah, seharusnya aku tahu percakapan seperti ini akan terjadi
“belum nda, gw sendiri masih bingung”

“yah, gw ngerti kok.. kita sama berarti” hening sesaat, sebelum obrolan kami berlanjut lagi
“tapi Ar, gw boleh gak tau pendapat pribadi lu tentang gw” jantungku berhenti sesaat mendengar pertanyaan Yunda seperti itu, “gw belom tau jg Nda, sorry” jawabku spontan & tergesa-gesa karena panik, ternyata jawabanku jelas bukan yg diharapkan Yunda, akibatnya sungguh fatal karena yg kudapat adalah pandangan hina dari Yunda sebelum dia membuang wajahnya dariku, sekarang dia benar-benar tampak tak sedang duduk didepanku. Aku sungguh menyesal dgn jawabanku tadi, hingga sisa waktu kami di donat factory tersebut kami hanya sibuk dgn ponsel masing-masing sambil sesekali menyeruput & menyendok hidangan didepan kami. Yunda menjadi sangat cuek, tak perduli berapkalipun aku mencoba mengajaknya bicara.
Jam sudah menunjukan pukul 21.00, lima belas menit lagi film kami akan dimulai, aku mengajak Yunda untuk kembali menuju sinema, “bentar lagi mulai nda, kita ke atas skrg yuk”
Yunda tak menjawab, dia hanya berdiri lalu berjalan agak didepan ku, sekarang kami seperti orang pacaran yg sedang marahan, jelas dia masih dongkol dgn kata-kataku tadi. Kacau! Kataku dalam hati, padahal ini bukan pertama kalinya aku jalan dgn wanita, tapi sebelumnya tak pernah berantakan seperti ini.
Aku mencoba mengurangi kemarahan Yunda dgn menawarinya popcorn & soda sbg cemilan didalam, “gw traktir nda” tambahku, walau hanya anggukan kepala yg kudapatkan tapi aku yakin itu tanda setuju. Dalam ruangan sinema aku memilih kursi pojok paling atas, aku beruntung mendapatkan posisi cukup enak, karena walau jam midnight tapi penonton tetap ramai, wajar ini weekend terakhir sebelum libur lebaran ini berakhir.
Aku merasa beruntung memilih film koalanya raditya dika, karena sepanjang film seisi bioskop dipenuhi gelak tawa, termasuk Yunda, namun aku sama sekali tak bisa menikmati film, aku masih benar-benar kepikiran dgn ekspresi Yunda akibat jawabanku tadi, sepanjang film aku hanya berpikir bagaimana caranya agar Yunda mau memaafkan ku.

Didalam bioskop aku sesekali melirik ke wajah Yunda, dia benar-benar sedang menikmati film, matanya berbinar & senyum tak pernah luntur dari bibirnya, jelas dia melupakan aku disebelahnya & lebih suka menikmati koala raditya dika. Aku pertama kali melihat wajah Yunda yg ceria lepas seperti itu, terakhir aku melihatnya tertawa lepas saat menangis haru mensyukuri kelulusan kami dari SMP, setelah itu aku & yunda benar-benar tak berjumpa lagi sampai dia bercerita tentang perjodohan kami tempo hari. Melihat Yunda ceria seperti itu aku merasakan dasar perutku naik turun, apalagi tertawanya yg menurutku lucu, seperti tertawa anak kecil, sungguh imut sekali. Sejak awal aku sudah mengakui perubahan fisik Yunda yg sekarang sangat mempesona, tapi sebelumnya aku benar-benar menganggapnya biasa saja, tak ada perasaan apa-apa, tapi kenapa sekarang aku begitu tertarik setelah melihatnya tertawa? Jangan-jangan kecanggungan seorang wanita bisa saja menghalangi pesona alami yg sebenarnya bisa saja dia miliki, pikirku. Tapi malam ini melihat Yunda yg tertawa perlahan aku mulai tersihir, baru aku sadar senyumnya yg indah & memikat. Lalu keindahan senyum itu menjalar ke pikiranku, rasa ego muncul, ingin rasanya memiliki senyumnya, apalagi tubuh Yunda yg padat berisi itu, terlebih dia wanita yg Cerdas & pintar, sungguh menambah daya tariknya, dia akan menjadi wanita yg pas sbg pendamping hidupku. Tapi aneh, bukankah fakta itu sudah lama aku tau, lalu kenapa perasaan ini baru muncul sekarang?
Lampu bioskop telah dinyalakan tanda film berakhir, aku merasa baru semenit duduk disitu, benar-benar tak menikmati film. Aku & Yunda masih duduk, karena kami duduk dipojok mau tak mau kami menunggu penonton yg duduk dideretan kursi kami keluar duluan.
Yunda menuju toilet tanpa berkata padaku, senyum & tawanya tadi sudah benar-benar sirna, berganti dgn ekspresi dingin seperti sebelumnya. Aku kesal juga lama-lama dgn sikap Yunda, ingin sekali ku membentaknya lalu meninggalkannya pergi lalu mengakhiri usaha perjodohan ini, namun aku terbayang ibuku, (sialnya aku benar-benar lupa pada adikku Hana saat itu) suara dipikiranku mengatakan itu bukanlah langkah yg jantan meninggalkan seorang wanita sendirian malam-malam begini, setidaknya biarkan aku mengantarnya pulang, demikian batinku.
Sekitar sepuluh menit aku menunggu didepan toilet Yunda keluar, sepertinya dia hanya membetulkan lipstick tipis dibibirnya. Kami melangkah keluar bioskop, sampai d gerbang mall, aku mencoba menawarinya tumpangan pulang, namun Yunda menolak,

“ga usah Ar, gw nelpon taksi aja” masih dgn ekspresi dinginnya,

“nda ini tuh udah malem, ntar kalo lu kenapa-kenapa gmn? Gw jg yg disalahin kan? Udah lu ikut gw aja” aku mencoba berkata selembut mungkin
“thx Ar, gw bs urus diri gw sendiri kok, bye” katanya sambil mencoba berlalu, tentu aku tak membiarkannya, aku mencoba menahannya dgn mengimbangi langkah cepatnya,
“nda tolong dengerin gw, gw minta maaf kalo gw salah ngomong tadi, tapi lu jg ga perlu sedingin itu sama gw dong” Yunda masih berjalan, wajahnya menunduk,
“nda sekali lg sorry kalo kata-kata gw td bikin lu ga suka, tapi plis lu jgn kaya gini dong”, Yunda masih tak berhenti, namun sambil berkata “gw tau lu ragu-ragu Ar, pasti lu masih bingung, sama gw juga, tapi gw bisa nyimpulin kok, sebenernya lu gak pernah ada disini, lu Cuma gak pengen nyokap lu jelek dihadapan nyokap gw, iya kan?”
Deg!! Kata-kata yg sungguh menancap, ini mulai diluar kendali, Yunda kembali melanjutkan kata-katanya,
“gw gak perlu sikap lu Ar, gw lebih suka lu nolak dari awal, jadi kita ga perlu jalan-jalan palsu kaya gini, & gw juga ga bikin lu buang-buang waktu lu sama gw, jadi gw ga perlu tumpangan dari lu Ar, thx sekali lagi”
Entah aku salah atau tidak, aku membaca sebuah harapan kecil dari Yunda, maksudku adalah Yunda berharap kepadaku agar kencan ini menjadi kesan yg menyenangkan, hanya sayangnya aku menghancurkan harapan tersebut dgn jawabanku. Benar, ketika dia bertanya bagaimana pendapatku tentangnya seharusnya aku menjawab lebih bijak, minimal aku mengawalinya dgn memuji penampilannya yg semakin menarik setelah lama tak berjumpa atau apalah yg membuatnya bahagia, tapi aku malah menjawab “belum tau” dgn nada seperti pengecut, aku bisa mengerti kenapa dia bisa sedingin itu akhirnya.
Rasa bersalahku kini menyatu dengan perasaan tertarikku yg mulai tumbuh pada Yunda, maka perlahan aku pegang tangan kanan Yunda dgn tangan kiriku, lalu dengan nekat aku berkata pada Yunda,
“Yunda, kalo aja perjodohan ini berhasil, gw ga akan nyesel dijodohin sama lu” Yunda kaget, dia menghentikan langkahnya, kini dia menoleh menatapku, aku melanjutkan
“Gw gak mau bohong nda, emang sekarang perasaan gw belum seutuhnya buat elu, tapi plis kasih gw waktu supaya gw bisa sayang sama lu” kini kedua tanganku memegang kedua tangannya. Yunda masih menatapku, dia benar-benar kaget mendengar kata-kataku,
“kenapa lu minta waktu ke gw supaya lu bs numbuhin perasaan lu dulu Ar? Gw gak mau maksa perasaan orang, inget Ar ibu kita gak maksa ini harus jadi kok” kata Yunda, kini nadanya penuh kesungguhan, tatapannya dipusatkan untukku, akhirnya aku mendapatkan perhatiannya.
“gw ga terpaksa Nda, ini emang kemauan gw aja”
“tapi kenapa Ar?”
“Gak ada alesan Nda, sekali lagi ini kemauan gw, ini pilihan yg gw ambil, & gw milih buat nyoba sayang sama lu”
Mendengar jawabanku, Yunda menunduk, tampaknya dia mulai terisak, aku melihat setetes air mata mengalir melalui dagunya, tapi mulutnya tersenyum, “lu emang goblok Ar”, sekejap kemudian dia memelukku, perlu beberapa saat kemudian baru aku membalas pelukannya. Sejujurnya perasaanku kembali tak karuan, padahal itu bukanlah pelukan pertama ku dgn wanita, tapi aku merasa berbeda dgn Yunda. Entah apa itu..
Namun sayang, setelah perdebatan sengit tadi baru aku menyadari kami masih berada di gerbang mall, walau sudah sepi karena penonton yg lain pasti sudah pulang, mau tak mau aku rishi juga, menyesal tak bisa menikmati pelukannya aku mencoba mengajak Yunda pulang.
“udah malem nda, kita pulang yuk”
“lu anterin gw kan Ar” kata Yunda dgn nada yg mulai ramah sambil melepas pelukannya, benar dia sedikit menangis karena setelah melepas pelukannya dia menyeka air matanya yg menetes, tapi aku yakin itu air mata haru, aku berhasil mengambil hatinya, kataku dalam hati.
“gak lah nih gw lg nelponin taksi buat lu” jawabku bercanda
“iiih apaan sih jahat banget deh Ar” sambil mencubit lenganku, kali ini nadanya mulai terdengar manja, & aku melihat wajahnya terutama pipinya yg chubby merona merah, menambah manis parasnya.

Dan akhirnya aku merasa dinding kecanggungan yg memisahkan aku & yunda selama ini telah runtuh..

BERSAMBUNG

Untuk membaca lanjutannya, silahkan lihat daftar episode cerita Aku Nafsu Pada Adik Kandungku disini:
Cerbung ABG diatas merupakan hasil karya dari LockerKavyJones selaku pengarang aslinya. Foto yang digunakan di dalam cerita ini hanyalah ilustrasi untuk mempermudah dalam meresapi jalan cerita yang ada.
loading...

Klik tuk Kirim Pesan